Hari ini genap 50 tahun kita hidup di bawah bayang-bayang sebuah peristiwa tragis dan pilu yang kerap kita sebut sebagai peristiwa G30S PKI. Tentang tanggal dan bulan persis kejadian itu masih menjadi perdebatan hangat di antara para peneliti sejarah. Demikian juga dengan jalan cerita, aktor intelektual, dan berbagai hal tentang kejadian itu masih diperdebatkan. Secara garis besar, ada dua versi sejarah seputar kejadian tersebut yang kini beredar di masyarakat. Pertama, versi resmi yang dikeluarkan pemerintah (Orba) dan versi baru yang dicetuskan sejumlah peneliti sejarah terutama pasca berakhirnya hegemoni Orba. Terlepas dari versi mana yang benar dan paling mendekati kebenaran historis, peristiwa tersebut tak bisa dipungkiri telah membawa malapetaka maha dasyat bagi ratusan ribu bahkan jutaan warga negara ini selama puluhan tahun.
Empati Kepada Korban
Seperti kita tahu, beberapa minggu setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh dan para petinggi militer Indonesia yang ditenggarai didalangi PKI pada tahun 1965, terjadi gelombang pembunuhan massal di sejumlah daerah dengan slogan “memberangus antek-antek PKI”. Ratusan ribu warga Indonesia meninggal, dibunuh oleh warga negara Indonesia sendiri, bukan oleh penjajah atau bangsa lain. Yang lolos dari pembunuhan massal itu dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan. Yang lolos dari penjara diberi stigma negatif sebagai antek-antek PKI. Hak-haknya sebagai warga negara dibatasi.
Menjadi amat mengherankan bahwa bahaya dan ancaman PKI terus menerus disuarakan hingga puluhan tahun sesudah peristiwa itu dan terus memakan korban. Kampanye anti PKI menjadi jualan laris manis dan tak jarang ditunggangi sejumlah pihak untuk menjatuhkan lawan-lawan mereka. Sangat mudah mencap orang sebagai PKI dan memberi sanksi atas cap tersebut. Saya teringat dengan sebuah peristiwa di masa kecil ketika ada pembagian sembako dari pemerintah di kampung halaman. Seorang tetangga kami tidak mendapat bagian. Kepala Desa dengan geramnya menerangkan bahwa tetangga tersebut merupakan antek PKI.
Buktinya, menurut Kepala Desa, dalam pemilihan umum tetangga tersebut tidak mencoblos partai yang dianjurkan pemerintah. Saya tentu belum begitu paham waktu itu letak masalahnya, tapi saya ingat memang ada embel-embel partai berwarna merah di depan rumah tetangga kami sementara semua warga kampung menggunakan embel-embel partai penguasa berwarna kuning. Karena ulah tetangga tersebut, Kepala Desa gagal mewujudkan janjinya memberikan suara seratus persen kepada partai penguasa. Karena itukah tetangga itu dimusuhi dan dicap PKI?
Barangkali contoh kasus yang saya ajukan dari masa kecil saya di atas agak remeh jika dibandingkan dengan kasus-kasus ekstrem di berbagai daerah lain. Poin yang hendak saya tunjukkan adalah betapa mudahnya mencap orang di masa lalu sebagai antek, pengikut, anggota atau apalah namanya, dari sebuah partai, organisasi atau aliran tertentu. Di masa sekarang saja, ketika orang sudah lebih berpendidikan masih banyak anggota masyarakat yang ikut begitu sebuah organisasi walau tak jelas dipahaminya arah dan tujuan organisasi tersebut. Mereka senang saja menerima baju, atribut-atribut atau sumbangan lain dari organisasi itu. Jika ternyata organisasi itu jahat, layakkah menyalahkan semua orang yang pernah bersentuhan dengannya?
Jangan-jangan ada banyak orang yang dicap PKI di masa lalu justru tidak mengerti sama sekali apa itu PKI. Mereka senang saja diberi cangkul dan bantuan-bantuan lain. Mereka tidak pernah mendengar bahwa PKI itu anti agama seperti sering dituduhkan sejumlah pihak. Dari kisah-kisah kehidupan para keluarga korban di buku dan media massa justru saya menemukan orang-orang yang taat beragama.
Maka marilah menggunakan sudut pandang kita pertama-tama ke penderitaan para korban, bukan kepada PKI. Pendekatan seperti itu penting untuk menjawab keresahan dan kegundahan sejumlah pihak yang akhir-akhir bersuara agak keras di media massa atas adanya wacana Presiden meminta maaf kepada PKI. Kini berdegung-degung lagi peringatan dan kewaspadaan terhadap bahaya laten PKI. Tapi peringatan seperti ini tidak akan menyelesaikan persoalan apapun. Akan lebih baik kita melupakan PKI dan berekonsiliasi dengan para korban tragedi kemanusiasaan yang pernah terjadi di negeri ini.
Kebenaran Sejarah
Catatan sejarah menjadi bermakna jika berisi kebenaran. Bukan rekayasa. Tanggungjawab terhadap kebenaran tersebut tidak hanya berada di pundak para sejarawan, tapi juga di pundak semua orang yang akan menggunakan sejarah tersebut. Dengan kata lain kita semua di negeri ini bertanggungjawab akan sejarah yang benar dan bermakna. Andai saja semua masyarakat Indonesia secara a priori membantah ada pelanggaran HAM di masa lalu maka rekontruksi sejarah atas peristiwa tersebut tidak akan pernah bisa berlangsung dengan dengan baik karena rekonstruksi sejarah juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan psikologis masyarakat yang akan menerima sejarah tersebut. Karena itu kita perlu secara dewasa mengakui kesalahan masa lalu dan berdamai dengan masa lalu tersebut.
Dengan begitulah sejarah yang baik dan benar dapat dituliskan untuk sebagai pembelajaran di masa yang akan datang. Tepat kiranya sebagai penutup meminjam kutipan dari seorang sejarawan Jerman: “Objektivitas historis tidak terpaku pada rekonstruksi peristiwa masa lalu apa adanya, tapi juga rekonstruksi masa lalu dalam terang masa kini”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H