Pemilihan Rizal Ramli (RR) sebagai salah satu menteri koordinator dalam Kabinet Kerja Jokowi cukup mengejutkan banyak pengamat politik bahkan juga warga yang gemar mengikuti isu-isu politik dalam negeri. Kejutan makin menjadi-jadi ketika Kabinet hasil reshuffle tersebut baru berjalan dalam hitungan minggu bahkan hari. RR memicu perdebatan sengit dengan kritik-kritiknya tentang berbagai program pembangunan yang telah digariskan pemerintah. Sampai-sampai Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan keras sebagai tanggapan dan Rizal kembali membalasnya dengan tak kalah sengit: menantang JK berdebat secara terbuka. Kejutan-kejutan RR belum berhenti dan terus memicu perdebatan panjang.
Maka publik semakin penasaran, mengapa gerangan Jokowi memilih RR menduduki salah satu pos penting dalam kabinetnya? Bukankah alasan utama di balik reshuffle itu adalah pentingnya konsolidasi dalam arti agar semua menteri satu suara, satu visi, misi dan satu arah di bawah komando sang Presiden? Alasan konsolidasi ini semakin meyakinkan dengan merujuk pada kasus Tedjo yang dicopot dari jabatannya sebagai Menkopolhukam karena ditenggarai sering mengeluarkan statemen yang tidak sejalan dengan sikap pemerintah dan memicu penolakan luas dari publik.
Rasanya terlalu simplistis menyatakan Jokowi salah pilih terhadap RR. Tentu Jokowi memiliki seabred mata-mata dan sumber informasi yang valid tentang orang-orang yang hendak dipilihnya. Sebelum memilih RR, Jokowi pasti sudah tahu karakter, kapasitas dan banyak hal tentang RR. Lantas mengapa dia tetap memilihnya?
“Silat Politik” Jokowi
Jawaban atas pertanyaan di atas dapat kita raba dengan memperhatikan bagaimana Jokowi mulai piawai bermain “silat politik”. Pemain silat kerap maju, mundur, bermanuver ke kiri-kanan baik untuk menangkis serangan lawan maupun untuk mencari posisi terbaik melancarkan serangan. Menurut penulis itulah yang sedang dipraktekkan Jokowi dalam beberapa keputusannya yang mengejutkan, termasuk dalam pemilihan RR. Jamak kita pahami adanya berbagai kepentingan yang bermuara pada tekanan politik bagi seorang pemimpin terutama Presiden. Aneka kepentingan dan tekanan politik itu membuat seorang pemimpin tidak leluasa menentukan kebijakan dan keputusan terbaik untuk mensukseskan pemerintahannya. Realitas itu makin disadari Jokowi dan karena itu dia mulai bermain silat.
Patut diduga Jokowi telah mencium berbagai kepentingan politik menyusup dalam program-program pemerintahannya. Yang punya kepentingan itu datang dari berbagai kekuatan sehingga tidak mudah untuk diabaikan begitu saja atau dilawan secara frontal. Maka dia “terpaksa” menyetujui sejumlah progam walau belum seratus persen diyakini sebagai program terbaik. Untuk itu dia membutuhkan orang yang otoritatif menyampaikan suara-suara kritis. Kemungkinan ini semakin menguat karena hingga hari ini Jokowi belum sekalipun menegur atau bahkan memberi tanggapan resmi atas berbagai kontroversi yang disulut oleh RR.
Untuk menguatkan argumen di atas, mari kita kilas balik sejenak bagaimana RR akhirnya terpilih sebagai Menko Kemaritiman hasil reshuffle kabinet yang lalu. RR dilaporkan oleh sejumlah media mendapat dukungan dari relawan Jokowi dan tokoh politik tertentu tetapi mendapat penolakan kuat dari kekuatan politik tertentu lainnya. Adanya pertentangan dukungan itu sangat kentara karena Jokowi beberapa kali menemui RR secara rahasia sebelum dia diangkat sebagai Menko. Sejumlah wartawan investigatif mengetahui pertemuan tersebut tapi tak satupun mengetahui lokasinya. “Lokasinya sengaja dirahasikan, karena ada banyak orang yang ingin menggagalkan pertemuan tersebut” kata RR kepada sebuah majalah nasional.
Pertemuan rahasia itu mengindikasikan keinginan Jokowi untuk merahasiakan pemilihan RR dari orang-orang tedekatnya atau dari partai-partai pendukungnya. Ini dapat dilihat sebagai sebuah permainan tarik ulur. Pada bagian tertentu Jokowi memenuhi keinginan dan titah dari kekuatan politik di sekitarnya (lihat misalnya pergantian Seskab—posisi Andi Wijajanto telah lama digoyang oleh PDIP dan Jokowi akhirnya menuruti keinginan partai pendukung utamanya itu), tapi pada bagian lain dia melawan kehendak mereka.
Manuver-manuver Jokowi yang diistilahkan dalam tulisan ini sebagai “Silat Politik” sebenarnya mulai tampak sejak pembentukan Kabinet kurang lebih setahun lalu. Paling kentara, adalah bagaimana dia memperjuangkan Luhut Panjaitan agar berada di lingkaran terdekatnya. Sebelumnya Jokowi hendak memplot Luhut sebagai Menkopolhukam, tapi penolakan kuat datang dari sebuah partai besar pendukungnya. Nama Luhut kemudian dicoret dan Jokowi terpaksa mengeluarkan jurus berputar untuk menyelamatkannya. Dia membuat inovasi bernama Kepala Staf Kepresidenan dengan kewenangan yang tak kalah penting dan tak kalah besar dari seorang Menko. Luhut ditunjuk secara tiba-tiba untuk posisi itu dan pelantikannya terkesan buru-buru, digabung dengan pelantikan kepala Staf TNI Angkatan Laut, seakan hendak menutup rapat-rapat celah yang bisa digunakan “pihak-pihak tertentu” untuk menyuarakan penolakan. Setelah jadi kepala staf, langkah Luhutpun mulus menuju kursi Menkopolhukam.
Masih ada contoh-contoh lain yang dapat kita rujuk bagaimana Jokowi mulai piawai bermain “silat politik” untuk mensukseskan agenda besar pemerintahannya. Kadang trik tarik ulur dan manuver kiri-kanan memang diperlukan dalam dunia politik karena orang-orang yang berada di sekitar Presiden berasal dari berbagai latar belakang politik dan tidak selalu bersih dari kepentingan politik kelompok yang diwakilinya. Ada kalanya kepentingan itu terselubung, tapi kadang juga sangat kentara. Ada kalanya kepentingan itu dapat dilawan dengan mudah, tapi tidak sedikit justru merugikan jika dihadapi secara frontal. Ibarat gelombang air, yang kecil bisa dilawan nahkoda untuk sampai ke tujuan, tapi jika gelombang itu terlalu besar sebaiknya diikuti saja sambil mencari jalan berputar untuk samapi ke tujuan.
Argumentum Auctoritatis
Kembali ke topik kontroversi RR. Menarik mencermati bagaimana RR selama ini selalu mendasarkan kritik-kritiknya dengan argumentasi serta perhitungan yang mudah dicerna akal sehat, dan cukup mengherankan para penentangnya sebagian besar hanya bisa berputar-putar pada pernyataan “itu keputusan Presiden” atau “itu sudah disetujui presiden”. Selain Faisal Bahri yang menanggapi kritik RR tentang tarif listrik dengan sistem voucher dengan memberi perhitungan tandingan, saya tidak menemukan perimbangan argumen dari para penentang lain di berbagai media massa yang saya ikuti.
Awalnya saya juga sangat terkejut dan sedikit jengkel dengan kritik-kritik RR tapi lama kelamaan semakin menyadari bahwa argumen-argumen yang dia sampaikan lebih mudah dicerna dan lebih bernas daripada tanggapan-tanggapan dari para penentangnya. Mari kita ambil contoh tentang rencana pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW). RR sejak awal memberi rincian bahwa penambahan daya listrik sebesar itu melebihi kebutuhan nasional sebesar 21.000 MW dan akan merugikan PLN karena kewajiban membeli kelebihan itu walau tidak terserap oleh konsumen. Tak satupun penentang RR, termasuk Wakil Presiden, bisa memberi perhitungan tandingan untuk menunjukkan RR salah. Semua hanya berkilah “itu keputusan Presiden”. Banyak masyarakat seperti saya yang tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Tapi sejauh ini menurut saya penjelasan RR lebih masuk akal. Sekarang bukanlah era “ABS”. Keterbukaan informasi telah mendidik masyarakat menjadi lebih kritis, karena itu dibutuhkan sebuah debat yang bernas, bukan sekedar berujar “itu keputusan Presiden”. Alasan-alasan yang hanya bersandar pada subjek otoritatif (argumentum auctoritatis) sudah usang dan saatnya dibuang. Tunjukan mengapa A benar dan mengapa B kurang tepat. Saya pikir salah satu keunggulan demokrasi adalah adanya kesempatan untuk melihat dan mencerna dengan akal sehat mana yang benar dan salah.
Salam demokrasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H