Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Belis, Antara Cinta dan Tradisi (Tamat)

18 Desember 2014   03:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:05 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

XIII

Anna merasakan waktu bergerak sangat lambat seperti keong menjilir perlahan menyeret cangkang berat dengan susah payah. Rutinitas mulai membuat urat-urat sarafnya mengencang ditarik-tarik oleh rasa bosan. Pagi dia berangkat ke sekolah. Siang hari dia pulang ke rumah. Sesekali dia membersihkan pekarangan atau membantu ibunya memasak dan mencuci. Selebihnya dia mengurung diri di kamar. Tidak peduli dengan apa yang berlangsung di dunia luar. Dia tidak tertarik sama sekali berkumpul bersama teman-temannya seperti dulu.

Puisi yang ditulisnya tetap menggantung, tidak selesai. Inspirasi  tak pernah datang lagi dan dia belum juga bisa membuat akhir dan kesimpulan dari puisi itu. Sementara pohon-pohon mulai malas menjatuhkan daun-daun dan angin telah berubah haluan seiring makin seringnya hujan datang bertandang. Dia seperti terkubur dalam rutinitas yang sama dari hari ke hari. Selingan-selingan pendek hanya terjadi beberapa kali. Tidak banyak.

Pada suatu siang di hari minggu secara diam-diam dia bertemu dengan Ibu Cosmas. Mereka saling melepas rindu. Bercerita tentang nasib dan mereka mengakhiri pertemuan itu dengan air mata.

Selingan lain adalah saat Firmus datang ke rumahnya. Kepada Firmuslah dia tumpahkan segala beban pikirannya. Firmus kadang memberi masukan atau mengkritik kata-katanya. Anna dapat menangkap penilain Firmus tentang Cosmas juga telah mulai berubah. Kebulatan tekad Cosmas hingga mengorbankan banyak hal menjadi tolok ukuran bagi Firmus untuk menilai bahwa apa yang diperjuangkannya, apa yang dicemaskannya selama ini adalah sesuatu yang real dan serius. Anna telah sampai pada pikiran seperti itu. Firmus juga mendukung dan meneguhkan keputusan Anna untuk menuruti kehendak ayahnya bersaksi di pengadilan.

Satu per satu saksi yang diajukan ayahnya telah selesai diperiksa di pengadilan. Gilirannya sudah di depan mata. Tinggal satu hari lagi. Anna merasakan urat sarafnya menegang. Amarah bisa meledak setiap saat jika ada kesalahan di sekelilingnya. Anehnya, dia sendiri tidak tahu pasti kenapa amarah itu berkuasa dalam hatinya. Dia juga tidak tahu kepada siapa hendak dilampiaskannya.

Amarah itu sebenarnya muncul karena dunianya telah berubah. Dia rindu dan ingin kembali seperti dulu. Tapi keadaan membuat hal itu mustahil terealisir. Orang tuanya terus menerus sibuk mengurus perkara dan membangun opini-opini untuk mendukung bahwa merekalah yang benar. Seakan tidak ada topik lain yang lebih penting. Dia terus menerus didesak untuk mempersiapkan diri menjawab pertanyaan hakim dengan benar sesuai arahan sang pengacara. Rutinitas yang membosankan, pertengkaran yang tiada hentinya,  gambaran pengadilan yang seram, rasa cinta terhadap keluarga Cosmas silih berganti dalam benaknya dan membuat tumpukan kemarahan di dadanya menjadi gunung yang siap meledak.

Dalam keadaan itu, Cosmas hanya diam. Setiap kali sosoknya hadir dalam kesendirian Anna, mulutnya selalu terpaku. Diam seribu bahasa. Apakah kau membangun cinta di hati ini hanya sebagai keranjang bola api? Kau melemparkannya dan membiarkanku memadamkannya sendiri. Itukah rencanamu? Anna menggugatnya, menumpahkan amarahnya dalam kesendirian dan kesepian kamar yang mencekam.

Gerimis turun. Gemerisiknya di atap rumah seperti music melankolis mendayu-dayu sedih. Angin tak pernah lagi mengetok jendela kamar. Tokek-tokek dan para jangkrik berhenti berkidung dan Cosmaspun tetap diam. Seakan hendak menguji kesabarannya. Seakan hendak membuktikan keteguhannya.

Kau tahukah, dan aku yakin kau memang tahu, bahwa aku tak sekuat dan seteguh dirimu. Lalu kenapa kau tega membiarkan semua ini terjadi? Masihkah kau ingat betapa rapuh dan lemahnya aku?

Anna hendak menghabiskan seluruh amarah dalam hatinya. Tak pernah habis. Tak terpuaskan. Bukan karena Cosmas tetap diam dan bungkam. Karena dia tahu amarahnya bukan karena perbuatan Cosmas.

Tapi akan kubuktikan padamu bahwa diriku tak lagi serapuh yang kau tahu.

Dia menutup monolog bisu nan sepi itu dengan amarah yang belum berakhir. Suara gemerisik di atap tidak lagi mendayu-dayu. Terdengar nyaring. Tetes-tetes air makin besar dan gerimis menjadi hujan lebat. Itulah malam terakhir sebelum Anna memberikan kesaksian di pengadilan, menentukan siapa yang menjadi pemenang antara keluarganya dan keluarga Cosmas tercinta. Amarah dalam hatinya meluap-luap lagi.

***

Gedung Pengadilan Negeri Maumere berdiri angkuh di pinggir jalan utama, di atas tanah yang luas. Gedung megah bertingkat ditopang tiang-tiang besar nan kokoh. Menggambarkan kekuasaan yuridis yang tak terbantahkan.

Anna tiba di sana bersama rombongan keluarganya dan kuasa hukum mereka. Agenda persidangan hari itu adalah pemeriksaan saksi terakhir.

Anna baru sadar bahwa kasus itu menarik perhatian lebih banyak orang dari yang dikiranya. Terbukti dari banyaknya pengunjung sidang yang duduk berderet di kursi panjang yang disusun dengan dua deret. Keluarga Anna duduk di deretan kiri bersama pengunjung lain yang tidak dikenalnya. Keluarga Cosmas duduk di deretan kanan. Dia sempat melirik ibu Cosmas. Tampak lebih tua dan makin kurus. Dia ingin berlari dan memeluknya.

Sidang dibuka oleh Ketua Majelis Hakim yang duduk di tengah, diapit oleh dua hakim anggota. Ketua Majelis Hakim kemudian memanggil namanya. Anna berdiri dari deretan sebelah kiri. Membuka pintu kecil pembatas ruang pengunjung dengan ruang sidang. Dia berjalan menuju kursi saksi yang telah disiapkan di tengah ruangan. Berhadapan dengan para hakim.

Jantung Anna berdetak lebih kencang dari biasa. Tangan dan wajahnya bergetar karena takut dan grogi. Semua keberanian yang dia bangun beberapa hari ini hilang begitu saja. Sosok hakim di hadapannya persis seperti yang ada dalam bayangannya. Mengenakan toga hitam dengan kerah warna merah. Membuat sosok mereka seram, alih-alih berwibawa.

Anna menjawab semua pertanyaan ketua Majelis Hakim dengan tenang. Singkat dan jelas. Jawaban-jawaban itu telah dia hafal sesuai arahan sang pengacara. Namun, pertanyaan ke-sembilan sungguh menggugah emosinya. Dia diam cukup lama hingga ketua Majelis Hakim mengulangi pertanyaannnya.

“Apakah setelah kejadian ini kau membenci Cosmas?”

Amarah Anna bangkit lagi. Tapi rasa percaya diri dan sebuah ketenangan misterius menguasai dirinya. Dia diam beberapa saat seperti menimbang kata-kata yang hendak diucapkannya. Para hakim kelihatan berbisik-bisik. Semua mata tertuju padanya.

“Bapak hakim yang mulia......” Anna bicara penuh percaya diri. Kepalanya tegak dan keseluruhan sikap tubuhnya tegas. Ketiga hakim di depannya kembali duduk tegak untuk menyimak kata-katanya.

“Sedikitpun saya tidak membenci atau menyalahkan siapapun atas semua peristiwa ini....” Anna berhenti lagi.

Pengacara keluarga Anna tampak gelisah. Sepertinya kurang setuju dengan kata-kata Anna. Demikian juga dengan Ayahnya.

“Peristiwa ini justru membuat saya mengerti mengapa Cosmas  pergi”

Anna berdiri. Dia sudah lupa sedang berada di ruang persidangan. Berpaling sebentar ke belakang dan menunjuk ke semua orang yang ada di sana.

“Bapak Hakim yang mulia, coba perhatikan betapa banyak orang yang peduli dengan perkara ini. Apakah mereka pernah bertanya mengapa Cosmas pergi?” suara Anna semakin tinggi.

Pengacara keluarga Anna angkat tangan. Memprotes bahwa saksi telah lari dari pertanyaan yang seharusnya dia jawab. Dia mohon supaya hakim menyuruh saksi tenang dan menjawab singkat.

Ketua Majelis Hakim mengabaikan keberatan itu. Dia mempersilahkan Anna melanjutkan kata-katanya.

“Dulu memang saya tidak mengerti mengapa Cosmas terlalu cemas akan belis dan detail-detail adat yang harus kami tunaikan untuk bisa hidup bersama. Tetapi sekarang saya mengerti. Dulu, saya mengira bahwa cinta dan rasa kekeluargaanlah yang menyebabkan banyak orang mau repot mengurusi perkawinan kami. Tapi kejadian ini, perkara yang disidangkan hari ini sungguh mengubah keyakinan saya”

“Jadi menurutmu mengapa dia pergi?” tanya hakim ketua, tidak sabar menunggu.

“Karena dia merasa tidak mampu melawan tradisi dan kebiasaan yang ada. Orang-orang ini semua....”

Anna kembali menunjuk orang-orang di belakangnya.

“Hanya peduli dengan adat dan tradisi itu. Mereka sudah puas jika belis dibayar mahal, pesta meriah dan mendatangkan decak kagum. Mereka tidak pernah bertanya apakah Cosmas atau saya sudah siap berkeluarga”.

Pengacara dan ayahnya tambah gelisah. Para pengunjung menajamkan pendengaran mereka untuk menyimak kata-katanya.

“Perkara yang disidangkan hari ini berbicara banyak hal pada saya. Semua orang sibuk mengurus perkara ini dan lupa mencari tahu di mana Cosmas sekarang. Saya sendirian meratapi kepergiaannya bersama Mama tersayang” Anna melirik Ibu Cosmas. Ia tersenyum miris.

“Perkara ini membawa saya pada kesimpulan bahwa sesungguhnya bukan cinta yang mendorong keluargaku dan keluarga Cosmas untuk menjalin tali kekeluargaan. Syair-syair indah dalam acara adat yang dulu saya dengar itu tiba-tiba hambar di telingaku. Kehilangan makna dan hanya omong kosong. Tak ada wujudnya. Buktinya setelah Cosmas pergi mereka rela berkorban untuk berperkara hanya demi sebuah kemenangan. Bukan bertanya mengapa dia pergi. Mereka hanya peduli dengan harga diri. Dan banyak orang tertarik untuk mengetahui pemenangnya agar mereka tahu siapa yang akan mereka beri aplaus”

Anna benar-benar telah kehilangan kontrol. Dia lupa sedang berada di hadapan orang tua dan para penegak hukum. Dia memang sudah tidak peduli. Dia menumpahkan semua hasil permenungannya  sejak kepergian Cosmas. Dia merasa wajib menyampaikan kata-kata kekasihnya  yang tidak sempat ia sampaikan kepada siapun kecuali pada dirinya dan Firmus.

Ketiga hakim di depan Anna menunduk-nundukkan kepala. Mereka sepertinya bersimpati degan Anna. Wajah ayah Anna dan juga Ayah Cosmas memerah. Mereka merasa ditelanjangi. Para pengunjung mulai berbisik-bisik membuat suasana sidang bising. Ketua Majelis Hakim mengetokan palu kayu dengan kuat. Menyuruh pengunjung sidang tenang.

Sidang dilanjutkan. Ketua Majelis Hakim memberi kesempatan kepada kedua hakim anggota untuk bertanya. Tapi keduanya mengatakan cukup. Demikian juga dengan pengacara keluarga Anna dan Cosmas. Sidang akhirnya ditutup.

***

Anna meraba-raba dadanya di kamar. Sepulang dari pengadilan dia menikmati kepuasan luar biasa. Dadanya terasa ringan tanpa beban. Tidak lagi sesak amarah. Saraf-sarafnya mulai mengendur. Dia seperti berada di awang-awang setelah cukup lama tak pernah merasakan hal yang membanggakan dan membesarkan hati.

Dia berbaring menatap langit-langit kamarnya. Berusaha mencari sosok Cosmas hadir di sana. Dia ingin membagikan sukacitanya. Kau tahukah Cos, hari ini telah kubuktikan bahwa saya tak serapuh yang kau duga. Telah kupadamkan lidah api yang kau sulut. Kita akan melihat apakah gerimis dan rintik-rintik hujan akan menghapuskan baranya yang tersisa. Cos, andai kau hadir dalam sidang tadi niscaya kau menyambutku dengan senyum kemenangan dan menciumku dengan hangat dan mesra. Cos….Cosmas, andai kau mendengar kata-kataku tadi kau akan mendengar kata-katamu sendiri. Cos, saya hanya menyampaikan apa yang tak sempat kau sampaikan kepada orang-orang.

Anna berhenti saat mendengar suara ayahnya marah-marah di ruang tengah. Entah siapa yang dimarahi. Kemudian terdengar diskusi serius bersama beberapa laki-laki. Anna berusaha mengabaikannya. Dia tetap tidak peduli. Hatinya mulai mengeras dan pendirian baja telah dia bangun dengan susah payah sejak kepergian Cosmas.

Anna teringat dengan puisinya yang belum selesai. Dia bangkit dari tempat tidur berusaha mengalihkan perhatian pada baris-baris puisinya. Susana riang hatinya belum hilang. Dia menghadirkan Cosmas lagi dalam bayangannya. Mereka membaca puisi itu bersama-sama dengan riang gembira.

Tapi dia menyadari dan merasakan kebungkaman dan kebisuan Cosmas yang terus menerus. Mengapa kau tetap diam, bisikkanlah sesuatu untuk mengakhiri puisi ini. Akankah kelak kau tiba meretas batas kebersamaan kita? dan Cosmas tetap diam.

Sekonyong-konyong Anna menyadari bahwa kebahagiaan di hatinya adalah kebahagiaan semu. Cosmas tak pernah bicara. Dan wujudnya yang nyata entah berada di mana. Rasa kehilangan seperti dulu hadir lagi. Mengantikan suka citanya, mengorek luka lama. Suara para lelaki di ruang tengah masih ramai. Menambah kesedihan hatinya. Dia makin menyadari kemenangan yang baru dia dapatkan tidak mampu mengembalikan Cosmas padanya.

Baiklah Cos, aku takkan berusaha lagi mencari kata yang tepat untuk meneruskan baris-baris puisi ini. Kelak akan aku tahu apakah waktu memberi restu pada kita untuk bersua. Pada saat itulah akan aku tahu akhir dari puisi ini, kata Anna dengan lirih. Masih dalam hati.

***

Pukul tiga dini hari Anna terbangun. Hpnya bergetar berulang kali. Dia melihat nomor penelpon. Nomor baru.

“Halo, siapa ini?” tanyanya setengah mengantuk.

“Anna, ini Cosmas”

“Ha? Cosmas?” Anna berteriak girang.

“Pelankan suaramu. Aku tidak mau ada yang mendengar kita bicara”

“Kau di mana sekarang, sayang. Kau baik-baik saja kan?” Anna menurut, ia bertanya dengan suara pelan.

“Ya, saya baik-baik saja, sayang. Kau juga baik-baik kan?”

“Kau di mana?”

“Nanti saya beritahu. Saya ingin tahu apa yang terjadi setelah saya pergi”

“Yah, nanti aku ceritakan. Kau di mana?”

“Ceritakan dululah nanti baru saya kasi tau”

Anna menceritakan semua hal yang terjadi sejak kepergiaan Cosmas hingga peristiwa di pengadilan.

“Terus, keputusanmu sekarang bagaimana?” tanya Cosmas setelah lama diam mendengar keterangan Anna.

“Aku akan menunggumu sampai kapanpun”

Cosmas sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. Begitu tegas dan mantap. Dia sadar Anna tidak lagi gadis manja. Dia telah memiliki pendirian dan prinsip.

“Benar?”

“Yah. Saya tidak akan mungkin bisa mencintai pria lain lagi”

“Kalau begitu, tinggalkan saja kampung. Datanglah ke sini. Saya bekerja di Jakarta. Tidak usah beritahu siapapun. Usahakan berangkat  diam-diam”

“Ya, saya akan datang”

Anna menjawab tanpa berpikir panjang. Tapi ketika telponnya sudah mati dan pembicaraan mereka telah rampung, dia mulai berpikir panjang dan bingung. Pertama-tama dia memikirkan cara melarikan diri tanpa mengundang curiga. Dia tidak biasa bepergian jauh seorang diri. Jika dia pamit kepada orang tuanya hendak pergi keluar kota, pasti akan mengundang curiga.

Cara melarikan diri dari kampung belum ketemu, pikiran Anna beralih pada masalah lain. Di benaknya terlukis wajah kampung halamannya bersama penggalan-penggalan kenangan masa lalu sejak masa kecilnya hingga dia tumbuh menjadi seorang gadis dewasa. Hadir juga wajah kedua orang tua, teman-teman dan semua orang yang turut mengisi hari-hari hidupnya di kampung itu. Mampukah aku meninggal semua itu? Pertanyaan itu tak bisa dia hindari dan juga tak bisa dia jawab.

Suara grasak grusuk terdengar di ruang tamu, kemudian berpindah ke dapur. Sambil terbaring di atas tempat tidur Anna melirik jam tangannya. Pukul 05.30. Segera dia tahu, ibunya telah bangun dan sedang membereskan rumah. Dia bangun dari tempat tidur, membuka pintu kamarnya pelan.

Ibunya telah keluar dari dapur membawa jagung untuk ayam saat dia melewati pintu penghubung ruang tengah dengan dapur. Dia meneruskan langkahnya. Mengikuti ibunya.

“Ma…..aa”

Ibunya berpaling. Memperhatikan wajah Anna yang sendu. Ketika dia berputar, Anna memeluknya.

“Ada apa, Nak?”

Ibu Anna mengelus rambut putrinya. Ayam-ayam di kandang makin ebut. Tak sabar lagi hendak mendapatkan kebebasan mereka bersama datangnya hari baru. Ibu Anna tidak mempedulikannya. Dia mengira putrinya masih merasa shock karena menghadapi persidangan kemarin.

“Tidurlah lagi. Nanti kubangunkan satu jam lagi”

Anna menggeleng. Air mata membasahi pipinya. Dadanya terasa sesak saat membayangkan sebentar lagi dia akan meninggalkan wanita tua yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.

“Ma, saya ingin pergi ke Kupang. Saya ingin menyenangkan diri di sana”

Ibu Anna tidak menjawab. Sambil berjalan ke dapur dia mempertimbangkan kata-kata putrinya.

“Nanti kubicarakan dengan Bapakmu. Memang baik juga kau pergi meninggalkan kampung beberapa hari, menginap di rumah pamanmu di Kupang agar pikiranmu tenang”

Sekonyong-konyong rasa bersalah menghantui pikiran Anna karena telah membohongi ibunya. Ditatapnya lekat wajah ibunya. Air matanya menetes pelan. Mereka berpelukan lagi.

“Nani saya akan meminta Bapakmu menghubungi Pamanmu di Kupang agar mereka menjemputmu ke bandara”

Kata-kata ibunya mengakhiri satu masalah. Cara meninggalkan kampung telah dia temukan. Kini dia hanya berhadapan dengan perasaannya sendiri. Mampukah aku?. Pertanyaan itu berulang-ulang di kepalanya bersama segenap bayangan  hari-harinya di kampung itu bersama orang-orang terdekatnya. Dia mencoba menguatkan hati dengan khayalan indah hidup bersama pujaan hatinya.

***

Tiga hari kemudian Anna menghilang dari rumah Pamannya di Kupang. Dia hanya meninggalkan pesan kepada orang tuanya:

Tidak usah mencari saya. Saya akan baik-baik dan hidup bahagia bersama orang yang saya cintai, Cosmas. Saya yakin Tuhan merestui hubungan kami walau tanpa ikatan adat. Karena cinta yang tulus jauh lebih suci daripada adat. Kelak kami akan kembali membawa kebahagiaan bagi semua keluarga kita.

Pesan yang sama dia kirimkan juga kepada orang tua Cosmas.

***

Putusan pengadilan dibacakan dua minggu kemudian. Dalam amar putusan itu ketiga hakim setuju menolak gugatan keluarga Cosmas sebagai penggugat dalam pokok perkara dengan pertimbangan gugatan penggugat tidak lengkap dan kabur (obscur libel).  Ketiga hakim itu juga sepakat menolak gugatan balik dari keluarga Anna sebagai penggugat dalam rekonpensi dengan pertimbangan bukti dan keterangan saksi tidak mendukung. Biaya perkara dibebankan kepada kedua belah pihak secara tanggung renteng.

Pembacaan putusan itu dihadiri ayah Anna dan ayah Cosmas didampingi pengacara mereka masing-masing. Pengunjung sidang sepi. Hanya beberapa orang saja.

Perkara itu tidak dilanjutkan lagi. Tanpa penyelesaian. Orang-orang tak henti-hentinya membicarakan perkara itu dengan sikap dan pandangan yang berbeda-beda. Anak-anak muda mulai sering membahas adat dan tradisi dan tetap dengan sikap dan pandangan yang berbeda-beda.

Maumere 2011

Mario P. Manalu (Telp: 081316282861; e-mail: riomanalu19@yahoo.com)

Beberapa catatan:

1. Penulis pernah tinggal di Maumere sebagai mahasiswa Filsafat dan berkontak secara langsung dengan warga Maumere.

2. Bahan-bahan novel ini sebagian diambil dari beberapa bundel berisi panduan adat pernikahan di Kabupaten Sikka dan juga sebuah buku hukum Adat Terbitan Direktorat M.A.

3. Penulis mengadakan wawancara terhadap para tokoh adat, agama, politikdan mengadakan penelitian lapangan di beberapa kecamatan (Nita, Kewapante, Nanga Urei dan beberapa kecamatan di bagian timur Kab. Sikka) dan juga menghadiri beberapa persidangan masalah Adat di Pengadilan Negeri Maumere

4. Penulis tidak bermaksud mengangkat isu SARA sebagai isu politis atau pretensi negatif lain. Novel ini hanyalah cara untuk menggambarkan sebuah proses perkembangan pemikiran masyarakat akan adat dan tradisi. Tentu dari perspektif penulis sendiri yang nota bene berasal dari suku, daerah dan latar belakang budaya yang berbeda sama sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun