Awalnya kami terkejut ketika diberi segepok duit sebagai imbalan menulis sebuah buku biografi politik seorang penguasa di negeri ini. Saya heran, kok ada orang rela mengeluarkan uang begitu besar demi sebuah buku yang menurut saya “kurang berkualitas”. Di sampul depan buku itu tertulis nama penulis, tentu bukan nama kami, melainkan nama si pemesan buku dan seorang temannya dari partai yang sama. Selain itu nama 2 tokoh nasional juga tercantum di sana sebagai pemberi kata sambutan. Di sampul dalam tertulis nama editornya, juga anggota partai yang sama dengan si pemesan buku, yang sama sekali tidak mengerti tentang penulisan buku. Nama-nama yang tercantum di buku tersebut setahu saya tidak berkontribusi sedikitpun dalam proses penulisan. Bahkan kata sambutan dari 2 tokoh nasional tersebut juga kami susun sendiri.
Oh ya, di atas saya mengatakan buku tersebut kurang berkualitas karena penuh dengan puja puji yang bombastis tentang capaian-capaian sang tokoh dalam memimpin negeri ini padahal hanya didasarkan pada sedikit data dengan keakuratan yang pantas diragukan. Pada awalnya, kami menyusun buku yang sangat kritis, jauh dari sikap memuji, karena kebetulan tim penyusun buku tersebut adalah orang-orang yang tidak begitu suka bahkan sudah bosan dengan gaya kepemimpinan tokoh tersebut. Tapi si pemesan buku menyuruh kami merombak total buku itu agar memenuhi kriteria ABS (Asal Bapak Senang). Singkat cerita, jadilah sebuah buku yang penuh dengan puja-puji yang meninabobokan.
Beberapa minggu setelah buku diterbitkan, si pemesan buku mengirimi kami sebuah foto-foto dirinya bersama dengan sang penguasa yang sedang tertawa senang sambil mengangkat satu buku yang kami susun. Dalam hati saya menghujat “orang ini memang sungguh-sungguh pemburu pencitraan”. Dia menikmati begitu saja tiap pujian pada dirinya tanpa berpikir terlebih dahulu apakah pujian itu proporsional dan memiliki dasar. Saya tahu, foto-foto itu dikirim dan dibagikan si pemesan buku ke banyak orang. Di berbagai kesempatan dia membagikan buku itu kepada kenalannya dan menunjukkan foto itu sebagai tanda kedekatannya dengan “sang penguasa”. Karena itu saya mulai mengerti mengapa dia rela mengeluarkan banyak uang untuk buku yang tidak berkualitas itu. Puncaknya, menjelang akhir jabatan sang penguasa, saya membaca di koran online si pemesan buku itu ditunjuk menduduki sebuah jabatan yang sangat strategis di partai sang penguasa.
Lucunya, ketika sedang asik mencari-cari buku referensi politik di sebuah toko buku (untuk proyek baru), seorang pengawai toko mendekati kami, menawarkan sebuah buku. “Mas, kayaknya buku ini bagus, deh” Katanya. Kami melirik dan melihat buku yang kami susun itu di tangannya. Spontan kami tertawa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H