Mohon tunggu...
Jari Bicara
Jari Bicara Mohon Tunggu... Jurnalis - Salam literasi!

Channel ini beragam isinya, seperti buku harian yang selalu aku sembunyikan di dalam laci.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dongengan dari Papua

20 Juli 2024   19:09 Diperbarui: 20 Juli 2024   19:16 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian 1: Bayangan Gelap di Tanah Papua
Gandi, seorang jurnalis investigasi berpengalaman, selalu memiliki ketertarikan pada isu-isu kemanusiaan dan politik di Indonesia. Namun, berita tentang kekejaman yang dilakukan tentara terhadap warga lokal di Papua selalu membuatnya geram.
Berbagai laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia, penembakan tanpa pandang bulu, dan pemindahan paksa penduduk terus berdatangan, namun pemerintah selalu membantahnya.
Gandi tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya. Dia memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Papua untuk menyelidiki kebenaran di balik berita-berita tersebut.

Bagian 2: Menelusuri Jejak Kebohongan
Sesampainya di Kota Merauke. Gandi langsung merasakan atmosfer yang mencekam. Orang-orang Papua selalu hidup dalam ketakutan dan trauma akibat perlakuan tentara yang brutal.
Sekarang sudah kali kedua Gandi datang ke Merauke. Dia juga sempat mengunjungi Monumen Benny Moerdani di daerah Tanah miring, sama seperti kali pertama saat dia datang dulu.
Kapten Moerdani adalah orang yang memimpin sekitar 350 tentara Indonesia, atau yang resminya "sukarelawan" pada bulan Juni 1962 ke Merauke. Dengan tujuan menjalankan melawan kerajaan Belanda yang berencana membuat "negara boneka" di Papua. Walau sebenarnya orang Papua mungkin tidak setuju dengan sebutan "negara boneka", karena mereka merasa berhak mempunyai negara sendiri, seperti Indonesia ketika meminta bantuan Jepang dan menyatakan kemerdekaan pada tahun 1945.
Perlawanan itu berakhir setelah terjadi perjanjian New York pada Agustus 1962, di mana Amerika Serikat menekan Belanda untuk menyerahkan Papua ke pihak Indonesia.
Belanda juga mungkin merasa tidak akan menang apabila perang melawan Indonesia di Papua Barat. Pada tahun 1969, PBB mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat di Papua setelah Belanda menyerah. Referendum ini biasanya harus one-man-one-vote. Namun Indonesia mengusulkan agar diadakan "musyawarah" saja.
Pada Juli-Agustus 1969, perwakilan dari beberapa kota di Papua diminta menentukan suara, mereka berjumlah 1025 orang. Ketakutan menyelimuti para wakil rakyat Papua tersebut. Mereka khawatir jika bersikap kritis akan gawat.
Hal ini terbukti ketika seorang wakil Papua dalam musyawarah di Mulia, Puncak Jaya, bertanya kepada wakil Pemerintah Indonesia. Apa yang akan terjadi jika dia memilih merdeka. Jawabannya sederhana. Dia akan ditembak!
Dari Monumen Benny Moerdani, kemudian Gandi melanjutkan perjalanannya melewati berbagai desa.
Di setiap gapura desa, terdapat tulisan 17-08-1945 untuk menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia juga merupakan milik orang Papua. Serta, di setiap gapura juga terdapat kalimat, "gunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar". Dalam pikiran Gandi, ia merasa bingung mengapa hal ini tidak terdapat juga di daerah asalnya, di Yogyakarta, yang kebanyakan masyarakatnya menggunakan bahasa sehari-hari campur antara bahasa Indonesia dan Jawa.
Berbagai tempat di desa, Gandi kunjungi. Ia berusaha untuk mendapatkan kepercayaan dari penduduk lokal, walau mereka selalu waspada dan enggan berbicara tentang apa yang mereka alami. Mereka cenderung memiliki sikap waswas terhadap orang berambut lurus.
Namun, Gandi tidak menyerah. Dia terus berusaha untuk mencari bukti dan informasi tentang kekejaman yang dilakukan tentara

Bagian 3: Menemukan Bukti Tersembunyi
Suatu hari, Gandi berkunjung ke daerah terpencil di Tanah Miring dan bertemu dengan seorang aktivis Papua bernama Mateus. Kala itu mereka berdua sedang berada di sebuah warung kopi yang sebagian pengunjungnya fasih berbahasa Jawa.
Rasa penasaran Gandi tergugah. Dia kemudian terlibat percakapan dengan Mateus yang menceritakan latar belakang mengapa hal itu bisa terjadi. Dimulai sejak tahun 1970-an, saat Indonesia melakukan program transmigrasi yang dibantu oleh Word Bank, di mana ratusan ribu transmigran didatangkan dari Jawa ke Papua. Merauke salah satunya. Jadi tidak heran jika saat ini sebagian penduduk di sekitar Tanah Miring adalah etnik Jawa.
Dalam percakapan tersebut, seorang Mama juga bilang, kalau sudah tidak bisa lagi soal nasib Papua. Sudah habis keluhan mereka!
Percakapan mereka semakin dalam, Gandi seperti mendapat pemahaman dan sudut pandang baru tentang permasalahan di Papua. Orang Papua juga sering bilang. "NKRI itu dorang punya, kitorang punya harga mati."
Mateus memberitahukan Gandi tentang sebuah desa terpencil yang menjadi korban pembantaian brutal oleh tentara yang dipimpin oleh Komandan bernama Bagus.
Gandi dan Mateus memutuskan untuk pergi ke desa tersebut untuk menyelidiki lebih lanjut. Di sana, mereka menemukan bukti-bukti mengerikan tentang kekejaman yang dilakukan tentara
Gandi berhasil mendokumentasikan semua bukti tersebut, termasuk foto-foto dan video-video yang menunjukkan kekejaman tentara anak buah Komandan Bagus terhadap warga sipil.

Baca juga: Kanvas Tersembunyi

Bagian 4: Rintangan dan Penjebakan
Ketika Gandi hendak kembali ke kota untuk mempublikasikan hasil investigasinya, dia ketahuan dan ditangkap oleh tentara. Mereka menuduh Gandi sebagai simpatisan pemberontak dan berusaha untuk membungkamnya. Gandi berusaha menjelaskan bahwa dia adalah seorang jurnalis yang sedang melakukan peliputan, sembari menunjukkan kartu identitasnya. Tapi hal itu tidak diperdulikan. Kemudian Gandi dibawa menghadap Komandan Bagus di sebuah desa terpencil yang jauh dari kota.
Gandi diinterogasi dengan kasar dan dipaksa untuk menyerahkan semua bukti yang dia kumpulkan. Namun, Gandi tetap teguh dan menolak untuk menyerah.
Untungnya, ketika tengah malam, saat para tentara sedang lengah. Mateus dan beberapa aktivis lain berhasil menyelamatkan Gandi dari tahanan. Mereka membawanya ke tempat yang aman dan membantunya untuk melarikan diri dari Papua.

Bagian 5: Membongkar Kedok Kejahatan
Setelah berhasil melarikan diri dari Papua, Gandi segera mempublikasikan hasil investigasinya kepada publik. Dia menunjukkan semua bukti yang dia kumpulkan kepada dunia, termasuk foto-foto dan video-video yang menunjukkan kekejaman tentara terhadap warga sipil.
Beritanya menyebar dengan cepat dan memicu kemarahan publik. Masyarakat Indonesia dan dunia internasional mengecam kekejaman yang dilakukan tentara di Papua
Pemerintah Indonesia terpaksa membuka investigasi terhadap kasus tersebut dan mencopot beberapa perwira tinggi yang terlibat dalam pembantaian di Papua.

Bagian 6: Bayang-bayang Ancaman
Meskipun Gandi berhasil membongkar kedok kekejaman tentara di Papua, dia tidak aman. Dia terus menerima ancaman dari pihak-pihak yang ingin membungkamnya.
Sejak kejadian itu, Gandi beberapa kali mendapat ancaman pembunuhan dan teror lainnya. Menjadikan dia tidak tenang tinggal di rumahnya.
Gandi dipaksa untuk hidup dalam persembunyian dan terus berjuang untuk keadilan bagi rakyat Papua. Dia tidak akan pernah berhenti untuk menyuarakan kebenaran dan melawan ketidakadilan.
Hubungan Gandi dengan Mateus terus terjaga, dalam persembunyiannya Gandi membuat akun anonim yang menyuarakan keadilan di Papua dan tetap berkabar dengan Mateus dan Aktivis Papua lainnya.
Tidak hanya di Papua, Gandi melalui akun anonim miliknya juga kerap kali menyuarakan masyarakat tertindas di seluruh Indonesia. Dari Aceh hingga Papua, dari Minahasa hingga Ambon, dari Ternate hingga Minangkabau, sejak tahun 1950, sering mengalami devide et impera kolonialisme Indonesia.
Menurutnya, Hindia Belanda diganti Indonesia. Jawa mengganti posisi Belanda, dan kelompok yang kuat menindas kelompok-kelompok minoritas atas nama "nasionalisme Indonesia",
Gandi berkata, "inilah kritik terhadap ulti possidetis Juris. Saya rasa itu tidak hanya di Indonesia saja, tapi juga di Afrika, Asia, Amerika Latin dan sebagainya bekas kolonialisme Eropa. Saya kira jurnalis yang bermutu akan melihat Papua dari sudut ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun