"Aku melihat terang di dalam gelap, yang mungkin tak kau lihat."
Sebagian besar aura tubuh bagas berwarna hitam. Begitulah cara masyarakat menilai seseorang di kota ini, setiap kelakuan baik akan beraura putih, sedangkan yang berkelakuan buruk beraura hitam.
"Hey kotor, sebaiknya kau mati saja!" seseorang memaki dengan lantang.
"Dasar penjahat." tambah seorang lainnya.
Bagas terus berjalan, tak menghiraukan setiap makian yang ditujukan padanya. Mungkin ini yang harus ia tanggung dari dosa kelam di masa lalu. Sepanjang melewati pasar siang itu, bagas terus mendapati dirinya selalu dicibir dan dipandang sebelah mata.
Kini bagas telah sampai pada ujung pasar, ia melihat dari kejauhan ramai orang sedang berkerumun dan bersorak-sorak. la mendesak masuk ke dalam kerumunan orang itu, ternyata telah tertangkap seorang copet dan sedang dihajar habis-habisan.
"Cukup! sudah tolong hentikan!" teriak bagas sembari mengangkat kedua tangan dan berusaha melindungi copet yang sudah tak berdaya itu.
Riuh semakin pecah, warna aura tubuh bagas yang sebagian besar hitam membuat masyarakat menyangka ia adalah komplotan dari copet tadi. Bagas pun jadi sasaran selanjutnya.
Hujanan pukulan yang semakin membabi-buta. Bagas teringat kembali akan masa lalunya. Pernah suatu kali ia pun terpaksa mencuri karena ibunya sedang di rumah sakit dan membutuhkan banyak biaya.
Dalam sisa-sisa kesadarannya, bagas tersenyum memandang copet yang sudah terkapar, dalam hatinya ia berkata: "Pasti ada alasan mengapa dia melakukan semua ini."
   Masyarakat semakin gencar menghujani Bagas dengan serangan, tanpa menyadari bahwa aura mereka perlahan berubah menjadi hitam pekat.
Bagas kemudian perlahan tak sadarkan diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H