Entah bagaimana cara menjelaskan perasaanku, sedih dan bahagia bercampur jadi satu. Sudah lama aku menunggu saat ini, segera aku pergi meninggalkan tugas. Sebuah kabar yang terdengar dari seorang perawat.
"Selamat pak, anak anda lahir secara normal. Namun kami mohon maaf Istri anda....."
"Istri saya kenapa Sus?!"
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin pak."
Baru saja merasa senang anakku lahir normal, tetapi istriku. Suster tadi kemudian menuntunku ke dalam ruang bersalin dan kemudian meninggalkan aku sendiri, memasuki bibir pintu suara tangis bayi terdengar menyambut, oh tangis anakku!
Segera aku sambut anak yang baru lahir itu ke dalam dekapanku, seketika tangisnya berhenti, seakan aroma polusi dan keringat di seragamku ini dapat membuat dia nyaman. Aku melihat istriku yang sudah berbujur di kasur, badanya tertutup kain menyisakan wajahnya yang sudah pucat itu, air-mataku tumpah sudah, kembali anakku menangis seakan merasakan apa yang aku rasa.
Lihatlah sayang, anak kita seorang lelaki, ia berempati pada ayahnya! lihatlah la menangisi kepergianmu, yang susah payah mengirimnya ke dunia yang kejam ini, dunia yang tidak mengizinkan seorang suami untuk menunggu istrinya melahirkan, sehingga harus meninggalkan tugas demi menyambutnya. Lihatlah!
"Permisi pak, maaf bisa ikut saya bicara sebentar, untuk urusan administrasi pak," ucap seorang dokter yang setengah tua itu.
Lihatlah nak, dunia ini begitu kejam pada dirimu, bahkan saat baru saja lahir.
Dan istriku.... andai aku bisa memutar ulang waktu, ingin sekali berada di sebelahmu kala itu, menguatkanmu, bahkan menyaksikan saat-saat terakhir hayatmu. Sekarang damailah dalam peristirahatanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H