Menelaah karya sastra khususnya puisi memang merupakan suatu hal yang sulit. Akan tetapi, bukan berarti puisi menjadi hal yang tabu untuk dapat diukur sejauh mana kedalaman makna atau kualitas puisi tersebut. Puisi adalah tempat pencarian diri oleh si pengarang atau penyair untuk menemukan suatu hal yang diyakini. Setiap pengarang atau penyair tentu mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya didalam menciptakan suatu karya. Setelah karya tersebut dilemparkan ke masyarakat, senang atau pun tidak senang si pengarang atau penyair harus siap merelakan bahwa karyanya sudah bukan milik personal. Setiap orang bebas untuk memiliki interprelasi atau pemahaman yang berbeda dari maksud yang ingin disampaikan oleh penyair.
Maka dari itu, disini saya akan akan mencoba memberikan apresiasi terhadap sebuah puisi yang dikarang oleh Zulkifli, seorang penyair asal kerinci. Tentu, tidak ada kesalahan jika saya mencoba menganalisis apa maksud dari puisi Zulkifli yang berjudul Seteguk Lagi. Jika analisis saya dirasa tidak menyenangkan maka penyair silahkan angkat bicara.
Bagaimana seorang Zulkifli mengungkapkan tentang Seteguk Lagi. Mari kita simak puisi tersebut.
Seteguk Lagi
Seteguk lagi
kopi ini menjadi ampas
Tak ada lagi yang diminum
Tak hendak juga menyeduh ulang
Berjam-jam lalu
kopi ini aku niatkan sebagai batas
Dari awal yang tak bermula
Untuk akhir yang tak tampak
Niat sudah terucap
Tunai haruslah dijemput
Hingga kini,
Aku belumlah usai
Oh dik,
Bagaimana kata-kata ini akan mengikat
Bagaimana kalimat ini akan berlabuh
Jika rupamu masih saja menampar pelupuk mataku
September 14
Lapau Satu Tigo
Kita memulai mengapresiasi puisi tersebut, dan kita mulai menelaah Seteguk Lagi yang ditulis Zulkifli.
Dari segi bentuk, puisi ini sangat teratur dan rapi dalam segi bentuk. Dan tentu masing-masing penyair tentu mempunyai khas tersendiri dalam segi penulisan.Hal tersebut bukanlah sebuah kesalahan sebab di dalam puisi terdapat kebebasan atau yang lazim kita sebut sebagai Licency Poetica dan hal tersebut merupakan sebuah seni dan kreatifitas tersendiri yang mampu membebaskan pembaca untuk mengapresiasi melalui bentuk tulisan tersebut.
Sesudah menyinggung sedikit dari segi penulisan. Kita mulai lagi menganalisis makna atau pesan yang ingin disampaikan.
Pada paragraf pertama, Seteguk lagi/kopi ini menjadi ampas/Tak ada lagi yang diminum/Tak hendak juga menyeduh ulang. Saya menangkap "seteguk lagi" yang dimaksud ialah penyair menginginkan sesuatu atau harapan. Mungkin dapat dikatakan juga permohonan akan suatu kesempatan.
"Kopi ini menjadi ampas" dapat diartikan adalah sesuatu yang telah berakhir, masa yang telah berlalu. "Tak hendak juga menyeduh ulang" terlihat ada ketidakyakinan dalam diri penyair bahwa sesuatu yang telah berlalu itu dapat terulang kembali.
Berikutnya, Berjam-jam lalu/ kopi ini aku niatkan sebagai batas/ Dari awal yang tak bermula/ Untuk akhir yang tak tampak. Penyair disini sadar akan waktu yang telah lewat. Kopi sebagai batas sudah diniatkan dari berjam-jam lalu, dan juga dengan sadar penyair berkaca pada waktu yang telah berlalu. Dengan kesadaran penuh penyair mengakui kelemahan diri dan ketidaktahuaan akan awal dan tak tahu kapan niat tersebut harus diakhiri.
Diawal sangat tergambar jelas bahwa penyair dilanda kebingungan dalam menentukan sikap. Penyair terlalu berhati-hati dalam memastikan langkah apa yang harus diperbuat. Akan tetapi, sesaat kemudian penyair bangkit dan berteriak, Niat sudah terucap/ Tunai haruslah dijemput /Hingga kini, / Aku belumlah usai. Disini penyair memberikan semangat kepada kita bahwasanya kita harus mengubah keadaan yang ragu-ragu harus segera diakhiri.
Penutup dari puisi ini penyair memberikan pesan terakhir, Oh dik,/Bagaimana kata-kata ini akan mengikat/ Bagaimana kalimat ini akan berlabuh/ Jika rupamu masih saja menampar pelupuk mataku. Menurut hemat saya, penyair ingin puisi ini mengikat. Walau penyair tak bisa memastikan apakah kalimat dalam puisi ini akan berlabuh, atau kah puisi ini akan terombang-ambing di lautan lepas ?. Bisa saja, rupa dari adik yang dimaksud oleh penyair akan membawa penyair ke pelabuhan waktu yang penyair harapkan. Entahlah.
Secara keseluruhan puisi ini menggambarkan kebingungan dalam menentukan sikap. Namun terselip harapan walau terkadang rasa ragu selalu hadir disetiap langkah kita. Dengan diksi yang tepat, metafora yang tak berlebihan, penyair sangat berhasil mengajak kita untuk merenungi keadaan. Penyair mengingatkan pentingnya keseimbangan antara rasa optimis dan pesimis supaya kita tak salah dalam memilih. Lebih tepatnya kita harus bijak dan hati-hati dalam menyikapi keadaan.
Sekian analisis dari saya, mohon maaf dengan ketidaktahuan dan kebodohan diri saya. Apa yang saya uraikan di sini hanyalah sebentuk kecil apresiasi dari kebodohan yang bersarang di otak saya yang tentunya rekan atau penikmat semua juga dapat memiliki interpretasi tersendiri yang lebih luas lagi dari apa yang telah diuraikan di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H