Rendahnya Keterwakilan Politik Kaum Perempuan di Indonesia
Saat ini, kaum perempuan di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai permasalahan seperti tindak kekerasan fisik dan seksual, kesenjangan gender, kesejahteraan dan kesehatan kaum perempuan, serta berbagai bentuk diskriminasi yang membatasi hak-hak kaum perempuan dalam berbagai sektor dan juga berbagai bentuk permasalahan lainnya yang banyak ditemukan. Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut, kemudian situasi dipersulit dengan rendahnya keterwakilan politik kaum perempuan didalam parlemen.
Penting bagi kaum perempuan untuk memiliki wakil di parlemen, hal ini dikarenakan kaum perempuan memiliki sensitivitas gender, yang dimana kondisi tersebut membuat para wakil perempuan di parlemen untuk memberikan atensi khusus terhadap berbagai bentuk permasalahan kaum perempuan.Â
Melalui anggota parlemen perempuan, kaum perempuan dapat mencurahkan permasalahan dan menyuarakan pendapatnya  terhadap suatu isu, untuk kemudian ditindaklanjuti oleh anggota parlemen sesuai dengan fungsi yang dimiliki oleh anggota parlemen, hal tersebut kemudian dapat membantu kaum perempuan dalam mengatasi berbagai bentuk permasalahan yang dihadapi.
Untuk mendorong keterwakilan politik kaum permpuan di parlemen, pemerintah telah melakukan aksi afirmatif dengan memberlakukan kebijakan kuota minimum calon anggota legislatif perempuan yang wajib untuk dipenuhi oleh partai politik dalam pemilihan legislatif. Aksi afirmatif adalah kebijakan yang diambil dengan tujuan agar kelompok atau gelongan tertentu mampu memperoleh peluang yang setara dengan kelompok atau golongan lainnya dalam bidang yang sama, secara sederhana, aksi afirmatif dapat dipahami sebagai kebijakan untuk memberikan keistimewaan atau diskriminasi positif kepada kelompok tertentu (Hukum Online, 2009). Menurut Kravitz dkk (2000) aksi afirmatif memiliki tujuan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap kelompok rentan seperti kaum perempuan dan etnis minoritas, dan untuk memperbaiki dampak diskriminasi yang terjadi di masa lalu.
Bentuk aksi afirmatif yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong keterwakilan politik kaum perempuan di parlemen adalah melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dalam undang-undang tersebut, aksi afirmatif dilakukan melalui alokasi kuota minimum 30% calon anggota legislatif perempuan, dan juga adanya persyaratan keterwakilan 30% perempuan yang diberlakukan untuk kepengurusan partai politik (Susiana, 2019).
Namun meskipun pemerintah telah melakukan aksi afirmatif untuk mendorong keterwakilan politik kaum perempuan di parlemen, keterwakilan politik kaum perempuan di parlemen masih rendah. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum tahun 2019, keterwakilan politik kaum perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya berada pada angka 20,8% atau sejumlah 120 anggota legislatif dari total 575 anggota DPR terpilih (MPR, 2023).Â
Jumlah tersebut menunjukan bahwa keterpilihan kaum perempuan belum mampu untuk melampaui batas minimal keterwakilan kaum perempuan yang telah diatur dalam undang-undang yaitu 30%. Selain itu, capaian tersebut juga menunjukan bahwa aksi afirmatif yang dilakukan oleh pemerintah melalui beberapa kebijakan, belum mampu untuk meningkatkan keterwakilan politik kaum perempuan di parlemen.
Dengan tingkat keterwakilan di parlemen yang rendah, kemudian dapat mempersulit kaum perempuan untuk dapat memperjuangkan aspirasinya melalui kamar legislatif. Parlemen merupakan sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya mengenai berbagai hal. Dengan tingkat keterwakilan di parlemen yang rendah, kemudian membuat parlemen didomonasi oleh anggota legislatif laki-laki, hal ini kemudian mempersulit upaya-upaya untuk menyalurkan aspirasi mengenai permasalahan kaum perempuan yang bersifat sensitif. Oleh karena itu, menjadi penting untuk dapat mendorong keterwakilan politik kaum perempuan di parlemen, sebagai upaya untuk membantu kaum perempuan dalam mengatasi berbagai permasalahannya.
Meningkatkan Keterwakilan Politik Kaum Perempuan di Parlemen Melalui Kaderisasi
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan rendahnya keterwakilan politik kaum perempuan di parlemen, salah satunya adalah kesalahan dalam rekrutmen kader yang dilakukan oleh partai politik. Selama ini, rekrutmen kader perempuan yang dilakukan oleh partai politik hanya sekedar berfokus pada upaya pemenuhan syarat minimum kuota calon anggota legislatif perempuan yang diajukan dalam pemilihan legislatif, dan rekrutmen tokoh-tokoh populis sebagai kader.Â