Mohon tunggu...
Rio Alif Ramzy
Rio Alif Ramzy Mohon Tunggu... Lainnya - A cinephile as picky as coffee connoisseur.

A head full of imagination.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"The Killing of A Sacred Deer", Ketika Pembalasan Disajikan dalam Titik Beku

27 Desember 2017   14:24 Diperbarui: 27 Desember 2017   16:09 2228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Internet Movie Database (IMDb)

Dari sejak awal mula peradaban, manusia telah bertindak menurut konsep persamaan. Hal ini terefleksikan dengan jelas melalui hukum karma yang menjadi salah satu dasar ajaran agama Hindu, salah satu kepercayaan tertua di dunia. Di belahan dunia lain, legenda Yunani memberikan contoh dalam kisah Iphigenia, putri dari Raja Agamemnon. 

Kisahnya, sang raja telah membunuh seekor rusa di dalam area sakral milik Artemis. Sebagai akibatnya, Agamemnon tidak dapat meneruskan pelayaran ke Troy karena badai, dan ia harus mengorbankan putrinya Iphigenia untuk memuaskan Artemis dan dapat melanjutkan perjalanan. Yorgos Lanthimos mengikuti akar Yunaninya untuk menelusuri konsep pembalasan dalam karya terbarunya "The Killing of a Sacred Deer", dan kali ini pembalasan dendam memasuki dimensi yang benar-benar baru.

Ceritanya, Steven Murphy (Colin Ferrell) adalah seorang ahli bedah jantung dengan karir dan kehidupan keluarga yang baik. Ia berkarib dengan Martin (Barry Keoghan), seorang remaja yang kehilangan ayahnya. Pertemanan ini berlanjut dengan kondisi yang semakin tidak nyaman sampai pada tahap dimana kedua anak Steven terkena suatu penyakit aneh dan semua bersumber dari Martin sendiri.

Ada dua pertanyaan yang biasanya muncul dalam benak di saat suatu pembalasan dilakukan. Pertanyaan pertama adalah, " Siapakah yang bertanggung jawab menerima pembalasan ini?" Pertanyaan kedua adalah, "Apakah pembalasan ini sepadan?" Kedua pertanyaan ini berakar dari pemahaman manusia mengenai pembalasan yang logis sebagai sebuah persamaan. Kehilangan mata tidak dapat dibalas dengan nyawa. Mata harus dibalas mata. Pembalasan juga tidak ditimpakan kepada orang yang tidak melakukan kesalahan tersebut. Dengan kata lain, harus ada kesepadanan.

Film ini tidak serta merta menjawab pertanyaan pertama. Ketika Anna (Nicole Kidman), istri Steven, mengkonfrontasi sang suami mengenai keterkaitan Steven dengan kematian ayah Martin di meja operasi, Steven menyatakan bahwa dalam operasi ahli bedah tidak mungkin salah namun ahli anestesi bisa jadi melakukan kesalahan. 

Ketika Anna mengkonfrontasi Matthew (Bill Camp), ahli anestesi yang adalah teman baik Steven dan ikut menangani ayah Martin, Matthew menyatakan sebaliknya. Satu-satunya kesamaan yang dapat ditarik menjadi kebenaran dari kedua tanggapan tersebut adalah bahwa Steven minum alkohol sebelum operasi. Jadi, siapakah yang benar dan salah? Itu semua tidak penting. Di mata Martin, pembalasan tetap setimpal walaupun yang harus menanggung adalah Matthew dan keluarganya.

Bagaimana dengan pertanyaan kedua? Kalimat yang diutarakan Martin kepada Anna ini mungkin bisa menjadi jawabannya. "Mungkin ini terlihat tidak adil, tetapi inilah yang bisa aku lakukan yang paling dekat dengan keadilan."

Apakah pembalasan Martin pada akhirnya benar-benar sepadan? Setiap orang akan memiliki jawaban dan pemahaman yang berbeda. Pembalasan dendam tidak dapat benar-benar diibaratkan sebagai a = b. Manusia hidup di dalam suatu dunia yang abstrak, dimana kelogisan tidak mutlak dan hanya masalah persepsi. Manusia berusaha sekuat tenaga untuk hidup dalam perilaku yang eksak, namun bahkan ilmu pengetahuan hanya dapat bersifat logis sampai pada titik tertentu. 

Steven, sebagai tokoh utama, adalah seseorang yang berkecimpung dalam bidang ilmiah. Ketika menghadapi suatu penyakit, seperti penyakit yang Martin buat untuk keluarga Steven, yang tidak dapat mutlak dijelaskan dan pada akhirnya terlihat hampir bersifat psikologis atau metafisik, orang-orang seperti Steven diharapkan untuk dapat membedah masalah ini dengan cara-cara deduktif. 

Namun, ketika jelas terlihat bahwa Steven tidak hanya akan kehilangan reputasi namun juga keluarganya sendiri, Steven menjadi tidak lebih dari seorang manusia yang dituntun oleh emosi dan hal-hal manusiawi lainnya yang tidak terjamah oleh logika.

Gaya penceritaan khas Yorgos Lanthimos, yang menuntut (hampir) ketiadaan emosi dalam setiap karakternya, menjadi kendaraan terbaik untuk menyampaikan kisah dan tema tersebut. Setiap dunia yang dibangun Lanthimos menjelma menjadi sesuatu yang absurd, sesuatu yang sebenarnya adalah hiperbola dari realita yang juga absurd. 

Dan ketika darah harus mulai mengalir, ia dijajarkan dengan bangunan karakter dan latar yang aneh dan tidak berperasaan. Di tangan Lanthimos, pembalasan dendam jauh lebih mengerikan, menimbulkan ketidaknyamanan akut dan membuat bulu kuduk berdiri layaknya pembalasan tersebut disajikan dalam titik beku.

THE KILLING OF A SACRED DEER | 2017 | Pemenang, Skenario Terbaik, 2017 Cannes Film Festival; Nominasi, Palme d'Or, 2017 Cannes Film Festival | Sutradara: Yorgos Lanthimos | Pemeran: Colin Farrell, Barry Keoghan, Nicole Kidman, Raffey Cassidy, Sunny Suljic, Bill Camp, Alicia Silverstone | Penulis skenario: Yorgos Lanthimos, Efthimis Filippou | Sinematografi: Thimios Bakatakis | Penyunting: Yorgos Mavropsaridis | Penata produksi: Jade Healey

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun