"Sistem zonasi merugikan!'', "Sistem zonasi belum siap diterapkan!", "Sistem zonasi membatalkan saya masuk ke sekolah favorit!'. Kalimat di atas merupakan contoh dari sekian banyaknya kalimat yang dilontarkan oleh orang-orang yang merasa kecewa atau tidak setuju dengan penerapan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB.Â
Baik dari komentar di media sosial ataupun percakapan sehari-hari, sepertinya sistem zonasi kelihatan merugikan masyarakat, namun apakah hal tersebut memang benar ? Terus kenapa pemerintah memberlakukannya? apa yang harus dilakukan selanjutnya setelah sistem ini diterapkan? untuk itulah opini ini penulis lontarkan demi menjawab sedikit keresahan akibat sistem zonasi yang menuai polemik ini.
Pertama, perlu diingat bahwa sistem PPDB sebelum sistem zonasi diberlakukan, juga tidak menguntungkan amat bagi sebagian besar masyarakat, kenapa? Karena hanya sebagian orang yang bisa merasakan sekolah yang distigmatisasi sebagai 'sekolah unggulan', yang lainnya hanya cocok ditempatkan pada sekolah swasta ataupun sekolah negeri yang kualitasnya 'rendah'.Â
Mereka yang diterima pada 'sekolah unggulan' tadi, sudah rahasia umum, biasanya mempunyai tiga kriteria, kognetifnya memang baik, ada relasi dengan pihak sekolah, dan seseorang yang eksklusif. Terus, kenapa hal tersebut dianggap bukan merugikan ? yah, jelas, karena hal tersebut sudah berjalan sangat lama dan menjadi kelumrahan dalam masyarakat. Sifat permisif inilah yang membuat separuh keadilan pendidikan bagi sebaian besar masyarakat tertutupi.
Kedua, sifat konservatif masyarakat Indonesia yang masih cukup besar, kurang progresif,egoisme dan pesimisme semakin mematenkan bahwa Sistem Zonasi PPDB belum cocok untuk diterapkan. Banyak para praktisi di dunia pendidikan Indonesia yang sudah merasa nyaman dengan sistem sebelumnya. Kenyamanan tersebut bisa diakibatkan oleh kondisi proses belajar mengajar ataupun situasi yang mereka dapatkan akibat status dari sekolah yang mereka tempati.Â
Sulit memang, yang biasanya kita mengajar siswa yang responnya baik, kini mungkin mengajar siswa yang 'bandelnya' kelewatan, yang sebelumnya mengajar siswa yang pengetahuannya pas-pasan kini mengajar siswa yang sangat kritis. Tidak nyaman memang, yang semula mengajar di perkotaan kini mengajar di pinggiran kota atau sebaliknya. Oleh karena itu banyak dari praktisi pendidikan yang memilih-milih sekolah mana yang harusnya mereka tempati
Lain lagi sebagai masyarakat, kebanyakan hanya mementingkan diri sendiri,banyak yang menganggap bahwa kualitas pendidikan yang baik hanya untuk mereka yang mampu, yang diluar kualifikasi harus terpinggirkan, oleh karena itu, kita sebagai masyarakat sering berpikir, saya yang cocok bersekolah di sekolah itu dan kamu cocoknya di sekolah ini.Â
Padahal sangat jelas tertuang di UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 5 ayat 1 berbunyi "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu", dan pasal 11, ayat 1 menyatakan bahwa "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi".Â
Dengan demikian, semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali, baik yang kaya maupun yang miskin, masyarakat perkotaan maupun pedesaan, atau kaum bonafid maupun kaum marginal.Â
Akumulasi dari prespektif praktisi dan masyarakat itulah yang semakin mengukuhkan bahwa sistem zonasi belum cocok diterapkan baik dari segi waktu dan tempatnya. Tidak hanya itu,sikap pesimisme dan apatisme yang seringkali ditampilkan oleh semua elemen masyarakat kepada apa
yang dilakukan oleh pemerintah semakin menghantui program yang progresif ini semakin terlihat sebagai 'produk gagal'.
Ketiga, yang perlu disadari oleh masyarakat adalah status sekolah pada akhirnya semua akan sama, cuma memang membutuhkan waktu. Waktulah akan menghapuskan semua stigma sekolah-sekolah yang ada. Tidak ada lagi sekolah 'favorit', sekolah 'unggulan', sekolah 'rendahan', ataupun sekolah 'pembuangan'.Â
Untuk sekarang, pastilah masih terdengar status sekolah tersebut, tapi lambat laun akan semakin redup dan akan menghilang. Lima atau sepuluh tahun kedepan, setiap sekolah akan mempunyai kualitas yang sama dan sama-sama dihiasi oleh peserta didik yang heterogen baik dari segi kemampuan kognetif, afektif dan status sosialnya.
Melalui indikator yang dilihat selama ini, baik dari hasil Uji Kompetensi Guru dan hasil penilaian Akreditasi Sekolah, seringkali kita beranggapan bahwa peserta didik yang berprestasi pada suatu sekolah tertentu diidentikkan dengan kualitas dari sekolah tersebut, padahal sejatinya, individu si peserta didik tersebutlah yang berperan sangat dominan terhadap keberhasilannya. Dia mampu mengambil pelajaran tambahan melalui les, memang bertekat kuat untuk berhasil, selalu mencari referensi dari apa yang telah dia pelajari, dan sebagainya. Sekolah hanya sebagai sarana, karena efek dari 'status' sekolah, maka dia memilih sekolah tersebut. Hal ini jugalah yang menjadi tolak ukur pemerintah dalam mengambil kebijakan Sistem Zonasi PPDB sebenarnya baik untuk diterapkan.
Sistem zonasi memang tidak sempurna dan tidak serta merta mampu mengubah kualitas pendidikan kita,akan tetapi langkah yang diambil sudah mengarah pada pengeliminasian ketidakmerataan pendidikan selama ini.
Sistem zonasi tidak bisa berjalan sendiri dan tidak bisa berjalan baik jika tidak dilaksanakan sungguh-sungguh oleh semua stake holder yang berkepentingan di dalamnya. Sistem zonasi harus berjalan secara simultan dengan sejumlah pogram yang menopangnya, dan dilaksanakan secara terintegrasi dan komprehensif bukan dengan formalitas belaka.
Dalam implementasi sistem zonasi, program yang harus diperhatikan adalah:
(1) masalah yang diakibatkan adanya perbedaan kepadatan penduduk terhadap letak sekolah,
(2) perotasian guru dan penyediaan guru yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan,
(3) pengembangan sarana, prasarana dan infrastruktur di tiap sekolah harus sama sehingga tidak ada lagi akreditasi sekolah A,B, atau C yang menampilkan kasta tiap sekolah tersebut,
(4) hilangkan iklim kompetisi, tapi munculkanlah iklim kolaborasi antar sekolah,
(5) adanya keselarasan dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) demi mendukung program zonasi ini,seperti memberikan kesempatan atau kuota yang sama untuk tiap sekolah dalam menerima calon mahasiswa dari jalur bebas tes atau SNPTN, dan
(6) harus ada kesamaanpandangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam menjalankan sistem zonasi ini agar tercipta keselarasan dalam pelaksanaannya.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menerapkan sistem zonasi pada PPDB, sebelumnya ada negera seperti Australia,Inggris dan Jepang yang menerapkannya terlebih dahulu. Intinya adalah sistem zonasi bukan sistem uji coba yang masih sangat baru dalam dunia pendidikan.Â
Sistem zonasi pastinya bukan sistem yang paripurna, apalagi pada pengaplikasiannya pasti masih banyak kekurangannya, tapi bukan berarti sistem ini tidak baik untuk diterapkan.Â
Harus ada perbaikan kontinuitas dalam tiap tahunnya, apa yang menjadi masalah pada tahun sebelumnya,harus segera dicari solusinya sehingga apa yang menjadi cita-cita bangsa selama ini yaitu terciptanya keadilan dalam memperoleh pendidikan untuk setiap anak bangsa tanpa terkecuali dapat terwujud. Akhir kata, penulis mengucapkan selamat menjalani tahun ajaran baru 2020/2021 bagi segenap rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H