Mohon tunggu...
Rinto Pariaman Tono Aritora
Rinto Pariaman Tono Aritora Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Rinto Pariaman Tono R

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Baoa na Burju #7# Serupa dan Segambar dengan Sang Pencipta

8 Oktober 2014   21:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:51 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Encik Ros mengajak Abigail ke ruang tamu. Abigail melihat selembar ulos dipajang di dinding itu. ia membaca tulisan yang diukir di ulos tersebut, ‘Horas Jala Gabe’

“Itu ulos pemberian Noerima, ia adalah sahabat Burju” Sahut Encik Ros. Ia duduk di sofa lalu melanjutkan ceritanya.

**

Setelah berdiskusi dengan ayahnya Burju, akhirnya dua kali dalam seminggu encik Ros mengajari Burju kerumahnya dan itu dilakukan setelah pulang sekolah. Hingga hubungan keduanya semakin dekat. Terkadang Burju memberi encik Ros buah-buahan dari hasil kebunnya untuk dibawa pulang.

Encik Ros diajak oleh teman seprofessinya ke kebun mangga. Berhubung ia tidak pulang ke kotanya di Padang ia pun ikut ke kebun mangga. Hari sabtu dan kebetulan hari libur nasional, saat itu disaat umat Advent sedang khusuk beribadah. Suara puji-pujian mengalun syahdu hingga ke kebun mangga tempat encik Ros berlibur. Kebetulan gedung itu terlihat dari kebun itu. Encik Ros melayangkan pandangannya ke gedung sopogodang. Gedung itu memang jika hari sabtu dipakai umat advent untuk beribadah sementara hari minggunya dipakai umat Pentakosta dan jumatnya walau tidak seberapa umat muslim di desa ini sering juga gedung serbaguna itu dipakai untuk melakukan ibadah jumatan.

Encik Ros melihat Burju sedang berdiri di luar gedung sementara matanya melihat kedalam gedung. “ibu Berta..bukankah itu Burju? kenapa dia ada di sana? bukankah mereka parmalim?” Tanya encik Ros penasaran.

“ooh yang parmalim itu emaknya..kau tahulah..di negara ini pancasila itu teori doank..parmalim belum diakui dalam catatan sipil..jadi daripada emaknya susah ngurus akta anak-anaknya terpaksalah emaknya ngasih Kristen jadi agama anak-anaknya” Jawab Berta.

Encik Ros masih melihat ke arah Burju. ia melihat adiknya, Anggiat keluar dan memegang tangannya lalu seperti memintanya untuk menunggu di bawah tangga saja. Encik Ros melihat Burju ingin mengatakan sesuatu namun Anggiat meninggalkannya dengan penuh kekesalan. Encik Ros pamit ke temannya dan berlari ke arah gedung. Ia melihat Burju duduk di tangga dan sedang menulis di secarik kertas. Ia melihat Tamara, adiknya Burju keluar dari gedung dan hendak turun ke tangga.

“Selamat pagi encik guru”

“selamat pagi Tamara.. kenapa Burju enggak masuk?”

“abang Anggiat enggak izinin karena usia bang Burju sudah lima belas tahun dan usia sekolah minggu itu batasnya duabelas, kalau bang Burju ikut entar katanya jadi sumber perhatian..jadi abang Anggiat malu, encik guru”

“yah sudah kau masuk saja..biar encik bicara bentar sama si Burju” Encik Ros melangkahkan kakinya di anak tangga dengan perlahan. Ia tidak ingin Burju melihatnya sebab ia ingin memberi kejutan. Ia mengintip apa yang ditulis oleh Burju di secarik kertas itu, “nulis apa yah dia?” ia berpikir burju masih belum bisa membaca dan menulis. tapi dia sudah mengenal semua huruf. Ia bingung saat melihat tulisannya tidak seperti yang ia ajarkan. Sepertinya sebuah kalimat sudah dituliskannya lalu perlahan dibawah tulisan yang berbentuk tulisan aksara Batak itu, Ia mengeja huruf-huruf itu menjadi satu kalimat yang membuatnya terharu. ‘aku serupa dan segambar dengan Allah

“Subhanallah” gumam encik Ros. Ia bersyukur ternyata Burju sudah bisa baca tulis bahkan lebih hebatnya lagi ia bisa menggunakan tulisan aksara Batak. Matanya berkaca-kaca karena ada airmata kebahagian disana. entah apa yang diucapkan Anggiat sehingga Burju menuliskan kalimat itu, pikirnya.

Ia Menyeka matanya yang berair. Akhirnya ia sudah bisa mewujudkan nazarnya. Ia menepuk bahu Burju. Burju kaget dan menoleh. wajahnya memerah menahan senyum. ia salah tingkah hingga tak sengaja menjatuhkan secarik kertas itu. Encik Ros memungutnya. Membaca dan setelah itu mengacungkan kedua jempolnya buat Burju. Burju terlihat semakin salah tingkah. Ia menutup mulutnya yang daritadi sepertinya menahan senyum.

Ibadah sekolah minggu nampaknya sudah selesai terlihat anak-anak sudah keluar berhamburan di luar gedung. “kalian pulang duluan saja! aku mau kerumah teman” sahut Anggiat menuju sepedanya.

“teruus aku pulang naik apa?” jawab Tamara, ia hampir menangis. Burju yang memperhatikan gerak bibir kedua adiknya seolah-olah mengerti. Ia berjongkok di depan Tamara dan mencolek pipi adiknya agar segera naik ke bahunya. Tamara naik ke bahunya dan memegang kepala Burju. Burju menaruh kedua tangannya di dada sebagai tanda pamit kepada encik Ros. Encik Ros memperhatikan Tamara sangat senang digendong dengan cara seperti itu oleh abangnya. Ia mendengar Tamara bernyanyi riang sambil abangnya berlari-lari kecil menuju rumahnya.

**

Encik Ros menarik nafas panjang, ia melirik Abigail, “aku enggak percaya Tamara tega menuntut Burju, walau Tamara masih berumur delapan tahun saat itu, sepertinya ia sangat sayang sama abangnya” Sahut Encik Ros.

“kalau kau haus, ada sirup markisa di kulkas, bikin saja sendiri yah! Enggak usah malu-malu, anggap saja rumah sendiri” sambung encik Ros.

Abigail melihat encik Ros sepertinya kehausan, “Encik mau? Biar aku seduh sekalian” sahut Abigail menawarkan.

“yah sudah, tapi enggak usah terlalu banyak sirupnya” Jawab Encik Ros.

Setelah menyeduh dua gelas minuman yang dicampur sirup markisa asli Medan tersebut. Abigail meletakkan satu gelas di meja sementara yang satunya ia minum perlahan sembari menghidu bau markisa yang membuat pikirannya menjadi segar.

**

Sepuluh tahun sudah Encik Ros mengajar di pinggiran Danau Toba, akhirnya ia menuruti keinginan orangtuanya agar menikah dengan pilihan sang ayah. Walau pria itu bersuku Batak namun ia beruntung karena mendapatkan calon suaminya itu beragama Islam. Pria yang berasal dari Tapanuli selatan itu berhasil mengajaknya untuk menikah dan meninggalkan kota Muara tempat ia mengabdikan diri. Encik Ros dan calon suaminya mengadakan acara perpisahan di sekolah dasar negeri tersebut. Selama acara berlangsung tak Nampak Burju di sana, padahal Burju biasanya datang walaupun Cuma sekedar mengantar Tamara. Entah kenapa ia ingin melihat Burju, murid kesayangannya itu untuk terakhir kalinya. Namun sampai acara selesai Burju dan adik-adiknya ternyata tidak masuk sekolah hari itu.

Encik Ros menggenggam tangan calon suaminya, lalu tersenyum sambil menaiki ujung kapal dan berdiri merentangkan tangannya menghirup udara disekita danau yang menghempas bersemilir. Ia ingin merasakan alam Muara untuk yang terakhir kalinya.

“Bang masuk duluan aja!” sahut encik Ros meminta calon suaminya itu masuk ke dalam ruangan kapal sementara ia mendekati pagar kapal. Ia melihat ke air danau, beberapa ekor ikan mujahir naik ke permukaan air lalu berenang kembali ke dasar danau sampai tak terlihat lagi. Ia mendengar suara seseorang sedang memanggilnya. Seperti suara perempuan ia menoleh dan melihat Burju sedangberlari melambaikan tangannya. dibelakangnyaNoerima sedangberjalan ke arahnya. Encik Ros teriak kegirangan, “Burju..” Enci Rosberdiri di pinggir kapal ia tak boleh turun karena tali-tali yang mengikat kapal sudah dilepas dan kapal sebentar lagi akan berangkat.

“kalian sudah jadian?” Tanya encik Ros berteriak kegirangan. Sementara Noerima tersenyum malu-malu dan menyembunyikan wajahnya di balik badan Burju.

Burju seperti biasa menggerakkan tangannya untuk mengatakan sesuatu. “dia mau bilang apa Noer? tanya encik Ros

“dia mau minta alamat encik guru” Jawab Noer, pandangan matanya entah kemana.

“dia ingin datang ke pesta pernikahan encik” Sambung Noer malah membelakangi kapal.

“serius? tanya encik Ros. Matanya berbinar-binar menatap Burju. Menunggu responnya dan dengan malu-maluBurju menganggukkan kepalanya.

“Sebentar!” kata encik Ros girang. ia menulis sesuatu di secarik kertasdan meremasnya. Ia melempar kertas itu dengan sekuat tenaga. Burju memungut sebongkah kertas yang jatuh di tepi danau itu.

“kalau datang berdua yah!” sahut encik Ros. Suara sirineberbunyi tanda kapal akan berangkat.

“encik guru” teriak Noer, ia meraba isi tasnya. Noer penderita miopi itu juga adalah murid dari encik Ros. Ia sering curhat masalah kehidupan bahkan belajar agama kepada encik Ros karena mereka memang satu iman. Airmata Noer berlinang.

“ada apa Noer? Cepat katakan! kapal sudah mau jalan” sahut Encik Ros. Ia mendadak penasaran.

Noer mengambil selembar kain ulos hasil tenunnya. Melihat noer, Burjuberinisiatif dan menggulung kain ulos dan berlari memasuki danau. Ia tak perduli celananya basah.

“lempar saja Burju!” teriak encik Ros sambil memperagakan tangannya

Dengan sekuat tenaga Burju melemparkan ulos itu dan encik Ros menangkap namun ulos itu tak mengenai tangannya hingga tersangkut danberkibar di pagar kapal. syukur saat itu bang Lubis calon suami dari encik Ros segera menangkap ulos yang bertuliskan horas jala gabe itu.

Encik Ros senang sekali. ia melambaikan tangan ke arahBurju dan Noer. airmatanya menitik saking terharunya dengan kedua muridnya yang disabilitas itu. Angin danau berhembus mengibarkan rambutnya, bajunya yang longgar mencekung mengikuti bentuk tubuhnya akibat hempasan angin yang lumayan kencang menerpa tubuhnya.Bang lubis calon suaminya menyelimuti encik Ros dengan ulos yang dipegangnya dan menatapnya mesra sambil berbisik, “Aku kagum dan semakin sayang padamu dik” Bang Lubis menuntun encik Ros masuk kedalam kapal. Perasaan Encik Ros diliputi kebahagian dengan perbuatan kedua muridnya itu. Mulutnya komat-kamit mengucapkan doa semoga kedua muridnya itu sehat dan bisa datang ke pesta pernikahannya.

**

“kau bawalah ulos itu, siapa tahu bisa kau jadikan alat untuk mengajak Burju berbicara” sahut Encik Ros. Ia melihat jarum jam di dinding itu sudah menuju angka enam. Ia berdiri di atas sofa dan mengambil ulos itu lalu melipatnya dan memberikan kepada Abigail.

“jadi Noer itu pacarnya bang Burju?” Tanya Abigail. Ia menerima ulos itu dan memasukkannya ke dalam tasnya.

“aku enggak sempat lagi cerita, ini sudah sore, besok kau harus berjuang di pengadilan, kau bisa baca ini!” jawab Encik Ros sambil memberikan buku catatan harian Noerima yang dia ambil dari lemari dekat sofa itu.

“memangnya Noer tinggal dimana encik?”

“aku tidak tahu..terakhir dia kirim surat dan buku itu sebelum ia pergi ke Jakarta untuk operasi mata. Namun setelah itu ia tak pernah lagi ngasih kabar.” encik Ros mulai terisak.

Abigail memegang lembut tangan encik Ros. ia bisa merasakan kesedihannya, masih banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan tapi ia enggak yakin apakah encik Ros akan menjawabnya belum lagi adzan magrib sudah berkumandang.

“Maaf yah dek aku tidak bisa ikut..aku juga rindu sekali sama Burju dan aku penasaran kenapa dia membiarkan Noer berangkat ke Jakarta” isak Encik Ros. Ia juga memberikan buku catatan hariannya selama di Muara kepada Abigail.

Bersambung

Baoa na Burju #8# mate allang

Di episode berikutnya ada istilah mate diparalang-alangan atau mati tanggung, yang artinya mati muda atau mati tanpa anak dan keturunan. Ikutin saja kisahnya, semoga kisah ini bisa selesai dituliskan sebelum tahun baru. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun