[caption id="attachment_328268" align="alignnone" width="220" caption="diambil dari http://www.pinterest.com"][/caption]
Abigail duduk di samping supir, ia berangkat dari simpang rambung merah menuju Tarutung. Bis yang ia tumpangin berhenti sejenak di terminal Sukadame untuk menunggu penumpang. Seorang ibu dengan kain dililitkan ke kepalanya dan sebatang rokok nyempil dimulutnya,ia ingin duduk di samping pak supir juga.
“tu pudi ma hamu inang! (dibelakang saja ibu)” sahut si supir.
“aaah dison ma ahu..ndang bebas annon marisap (ah disini sajalah, enggak bebas nanti merokok)” jawab si ibu.
Abigail mengalah, ia pikir ia tak ingin asap rokok itu mengelilingi dirinya dan ia juga ingin membaca buku diary Noerima sahabat bang Burju, klient yang akan dibelanya besok.
“aah gitu donk dek..kalau duduk dekat supir kau, enggak konsentrasi nanti supirnya nyetir” sahut si ibu duduk menoleh ke arah Abigail. logatnya lucu sekali.
“aah banyak kali cakapmu inang! Patenang-tenang ma di kursi sada i (santai saja duduk di depan)” balas si supir.
“kemana bisa mau tenang? Zaman sekarang jualan susah sekali, berlebih-lebih terus barang jualanku” Sahut si ibu. Ia mengeluh karena barang dagangan yang ia bawa dari Pematang Siantar ke Porsea biasanya habis pada saat hari pekan. Namun sekarang ini mungkin karena banyaknya saingan mengakibatkan ia harus punya strategi khusus untuk menjual barang dagangannya.
“pengaruh Alfamart kali yah inang?” Tanya supir. Bis sudah berjalan dan ia menyalakan radio tape yang ada di dashboard bis. Dengan lembut dan masih terdengar pelan suara penyanyi-penyanyi lawas itu mengalun memenuhi bis. Beberapa penumpang ada yang bersandar sambil tidur-tiduran.
“yah mungkin lah…sudahlah.. mengeluh juga enggak ada gunanya, kuatkan saja suara tapemu itu!” sahut si ibu. Suara tembang-tembang lawas pun mengalun, menggema, memenuhi setiap ruang di bis tersebut. Abigail mulai terbiasa, walau lagu-lagu itu jarang terdengar di telinganya namun ia mulai menikmati. Ia membuka buku diari encik Ros, catatan harian encik selama tinggal di Muara, pinggiran Danau Toba itu. Ia membacanya sambil menyalakan ponselnya sebagai alat pembantu penerangan.
**
Sore hari setelah memberikan kursus privat, Encik Ros hendak bersiap-siap pulang. Sementara Burju sudah keluar rumah untuk menggembalakan kambing dan sapi mereka. Mamanya Burju datang menemui encik Ros dan memintanya duduk. “encik”
“iya mama Burju..ada apa?”
“teringatnyalah dulu, kenapa kau mau ngajarin si Burju itu? tanpa dibayar lagi?”
“ah enggak apa-apalah mama Burju, aku kan ngajarin Burju Cuma sampai bisa baca tulis saja” jawab Encik Ros. Ia melihat raut wajah mama Burju berubah, matanya menunjukkan ia sepertinya ingin berkeluh kesah.
“kalau kau mau cerita, silahkan mama Burju, enggak usah segan-segan” sambung Encik Ros.
“Sebenarnya dulu Burju lahir normal, Setelah lima tahun berumah tangga aku diberi Debata seorang anak. Ia sangat tampan dan aku sangat suka dengan matanya. Bola matanya itu tidak seperti bola mata orang pribumi pada umumnya. Dipinggir lingkaran bola matanya ada warna kebiru-biruan lalu ditengahnya didominasi warna coklat. Ayahnya sangat senang apalagi ia anak lelaki yang akan mejadi anak panggoaran. Di suku Batak jika anak pertama yang lahir laki-laki dipandang menjadi orang yang sangat beruntung. Saat berumur tiga tahun, di sore hari ayahnya pulang ia melihat Burju memanggil papa, lalu ayahnya menggendongnya. Ia menaikkan Burju di atas kerbau, ternak yang baru ia bawa dari padang rumput. Entah kenapa saat itu Burju terjatuh dengan posisi telentang namun tidak menangis. Belum lagi kerbaunya mundur dan salah satu kaki depannya menginjak leher Burju. Syukur saat itu ayanya langsung menahan salah satu kaki kerbau itu hingga akhirnya aku segera menggendong Burju. aku melihat Burju menangis dan tersedu-sedu, namun aku tak mendengar isakannya sama sekali.
Aku segera memijat punggung Burju namun beberapa jam kemudian Burju mengalami demam tinggi. Kami segera membawa ke dukun desa, setelah dari sana panasnya turun namun ia tak mau berceloteh sama sekali. Saat dipanggil Burju juga sepertinya tidak mendengar karena ia sama sekali tidak menoleh. Akhirnya kami membawa Burju ke dokter umum namun oleh dokter umum kami dirujuk ke dokter THT.Waktu itu sulit sekali menemukan dokter spesialis THT di desa ini, hingga kami membawanya ke kota Pematang Siantar. Mengikuti saran dari dokter THTdua kali dalam sebulan selama dua tahun aku masih rutin membawanya berobat. Banyak dana yang terkuras, dari tabungan dan tanah warisan ayahnya dijual agar suara Burju kembali seperti biasa. Namun tak ada perubahan, Burju malah mulai berinteraksi dengan tangannya.
Aku kesal karena sudah lelah dan menghabiskan banyak dana belum lagi jika aku ke PematangSiantar dan numpang beberapa hari di rumah iparku. Anak dari iparku atau sepepu Burju sering meledek Burju dan membuat hatiku sakit juga malu. Hingga saat itu aku kehilangan akal sehat. Aku membawa Burju ke pasar Parluasan, kutinggal dia di dekat kios yang khusus jual pakaian bekas, “tunggu mama mau beli es yah! Dan jangan kemana-mana!” pesanku.
Beberapa jam kemudian perasaanku tidak enak, padahal aku sudah berada di terminal untuk mengambil tiket ke Muara. Aku kembali ke tempat dimana Burju kutinggalkan, kulihat ia duduk di meja di depan kios itu, sementara pasar sudah sepi karena adzan magrib sudah berkumandang. Namun entah kenapa aku enggak bisa berpikir, aku kembali lagi ke terminal dan berniat untuk pergi pulang ke desa. Suara sirine mobil pemadam kebakaran kudengar bersahut-sahutan.”
“ada apa inang?” tanyaku pada ibu-ibu yang berlari tergesa-gesa ke dalam pasar.
“pasar pakaian bekas kebakaran”
Aku terkejut dan ingat Burju ada di sana, segera aku ikut berlari ke dalam pasar namun petugas keamanan tidak memperbolehkan warga untuk masuk. Garis polisi dipasang sementara kobaran api menjulang tinggi hingga asap hitam kelihatan membumbung tinggi ke angkasa.
“Burjuuuu” teriakku histeris menerobos garis polisi itu hendak masuk, namun beberapa dari petugas keamanan tidak memperbolehkan.
“toloooong pak polisi!…anakku berumur enam tahun di dalam” teriakku semakin histeris sambil menangis hingga tubuhku bergetar hebat dan akhirnya pandanganku gelap.
**
“Balige…Balige…Tarutung” sahut supir saat menurunkan ibu yang duduk di depan tadi di kota Porsea.
Abigail meneguk air mineral yang ia beli tadi dari warung pinggir jalan itu. lalu melanjutkan membaca buku diary Encik Ros.
**
Aku merasakan percikan air di wajahku dan mencium bau minyak angin. aku memicingkan mata dan melihat orang banyak mengerumuniku, sementara disana beberapa kerumunan orang juga banyak menyaksikan sijago merah melahap habis pasar kain bekas itu.
“Burjuuuuuu” teriakku berusaha bangun.
“tenang ibu” sahut seorang pria.
“ibu mencari anak ini?” Tanya pria itu.
“burjuuuuuuu…maafin mama nak…mama janji tak akan berbuat seperti itu lagi” aku memeluk Burju menghujani pipi dan keningnya dengan kecupanku.
“bang..terimakasih banyak…kau sudah menyelematkan anakku” sahut ku menatap pria itu.
“anak ibu penurut sekali, sebelum pasar kebakaran, saya sudah suruh dia untuk keluar dari pasar, namun anak ibu tidak mau, ia bilang mamanya suruh agar ia tak pergi kemana-mana” jawab pria petugas kebersihan di pasar Parluasan itu.
“anak ku gak bisa cakap, bang!” sahut ku
“iya saya tahu… anak saya juga seperti anak ibu, tapi semakin lama saya mengerti bahasanya..enggak usah malu punya anak bisu..mereka juga ciptaan Allah” jawab pria itu dengan logat jawanya.
“iya pak, terimakasih banyak pak..” ucapku. Aku menggendong Burju dan mengecup keningnya sambil bersyukur, Debata Mulajadi Nabolon masih menyelamatkan Burju. Aku berjanji apapun yang terjadi aku ingin Burju tetap disampingku bahkan sampai aku mati.
“Aku tidak lagi membawanya berobat ke dokter spesialis THT, aku mulai belajar untuk menerima keadaan Burju hingga akhirnya setelah Burju berumur tujuh tahun, aku melahirkan anak laki, dan dua tahun kemudian lahir lagi anak perempuan. Perangai ayahnya anak-anak mulai berubah, ia tak lagi punya waktu dengan anak-anak. Ia lebih banyak mampir di kedai tuak dan pulang sangat larut. Ia menghukum dirinya dengan mabuk-mabukan, mungkin untuk melupakan sejenak kesalahannya terhadap Burju. Atau mungkin ia malu anak panggoaran yang tadinya membanggakan hatinya kini hanya bisa berkomunikasi dengan gerakan bibir atau anggota tubuh. Bahkan untuk menyebut namanya sendiri Burju tidak bisa.”
“tapi kayaknya kalau mendengar ia masih bisa, mak Burju?” Tanya encik Ros. Ia ingin memastikan, sebab ia pernah merasa saat memanggil Burju dan Burju menoleh.
“aku juga merasa kadang Burju bisa mendengar, tapi itu jarang sekali” jawab mama Burju.
“jadi ayahnya Burju dulu periang yah?” Tanya Encik Ros.
“Iya dulu ia periang, sekarang bawaannya diam melulu, ia dulu rajin ke gereja, daaaan”
“jadi kalian nikah beda keyakinan?” potong encik Ros.
“iya, tapi kami masing-masing” jawab mama Burju.
“teruus kenapa ayahnya tiba-tiba meninggal?” Tanya encik Ros. Ia memang penasaran karena belum lama ini ia pernah meminta izin kepada ayahnya Burju mengenai kursus privat kepada Burju.
“itulah akibat mabuk-mabukan, ia kena sakit lever, bahkan merokoknya pun kencang sekali, matilah dia” jawab Mama Burju terlihat menahan kesedihan.
“ngomong-ngomong, karena kau bilang tadi si Burju bisa mendengar, aku jadi ingat waktu anaknya pak Luhut mengejek ayahnya Burju disebut ‘Mate Allang’ Burju marah sekali, ia memukul si Viktor itu sampai berdarah, padahal si Viktor itu ngomongnya enggak percis di depannya Burju”
“memang apa arti mate Allang itu?” Tanya encik Ros.
“mate allang itu berasal dari kata mate diparalang-alangan atau mati tanggung, yang artinya mati muda atau mati tanpa anak dan keturunan. Kematian seperti itu sangat menyedihkan apalagi bagi seorang pria di masyarakat Batak. Tidak ada acara adat yang bisa dilakukan untuk orang mati seperti itu, sebab mate allang itu juga disebut mati sia-sia”
“oooh pantas saja si Burju marah yah?” sahut encik Ros.
“aah aku juga bingung, kata orang, ayahnya Burju meninggal juga bisa disebut mate allang karena putra-putrinya belum ada yang menikah”
**
“Itu hotel mu dek!” sahut supir itu percis di depan hotel tempat Abigail menginap. Ia turun dan memberikan empat lembar pecahan lima puluh ribuan.
“banyak kali dek” kata supir menatap Abigail.
“sudah ambil saja bang!” jawab Abigail. Ia tergerak untuk memberi lebih karena ia aman dan boleh tiba tepat dan percis di depan hotel.
“terimakasih dek” sahut supir meninggalkan hotel.
“mauliate juga bang” jawabnya. Abigail berusaha mempraktekkan bahasa Batak yang memang sudah dihapalnya. Banyak kosakata bahasa Batak yang ia mengerti namun sulit ia ucapkan. Dan ia berniat ingin mempraktekkannya di tanah nenek moyangnya itu. ia memasuki hotel dan masuk ke kamarnya. Walau hotel sekelas melati namun ia kagum dengan keramahan para pekerja disini. Cuma ada beberapa jam lagi waktunya untuk beristirahat sebelum ia besok perang argumentasi dengan pengacara pak Monang di pengadilan negeri Tarutung. Walau ia resah dan gelisah namun ia berdoa dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan.
Bersambung
Note :
Tuak = sejenis adalah sejenis minuman beralkohol Nusantara yang merupakan hasil fermentasi dari nira atau pohon enau.
Debata Mulajadi Nabolon : Tuhan semesta alam
Anak panggoaran : penyebutan untuk anak lelaki, anak pertama di keluarga Batak, yang namanya digunakan sebagai nama panggilan orang tuanya.. Secara dalam adat Batak, kalau sepasang suami istri sudah punya anak, tidak sopan untuk dipanggil dengan nama mereka, melainkan dipanggil dengan Mama atau Papa nya si “A”
Makanya aku malas berhubungan dengan orang Bank, soalnya sering nanya nama mamaku, pantang tahu nyebut nama orangtua:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H