Mohon tunggu...
Rinto F. Simorangkir
Rinto F. Simorangkir Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik dan sudah Magister S2 dari Kota Yogya, kini berharap lanjut sampai S3, suami dan ayah bagi ketiga anak saya (Ziel, Nuel, Briel), suka baca buku, menulis, traveling dan berbagi cerita dan tulisan

Belajar lewat menulis dan berbagi lewat tulisan..Berharao bisa menginspirasi dan memberikan dampak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Angkringan Mbah Watimin dan Suami, Perjuangan di Sisi Selatan UGM

30 November 2022   22:55 Diperbarui: 30 November 2022   23:20 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbincang singkat dengan sang Ibu Watimin, mencoba mendengarkan cerita yang ada di pikirannya. Mencoba mencari sedikit cerita dalam keluarga ini, lewat pertanyaan-pertanyaan eksploratif. Meskipun belum banyak bercerita karena sang Bapak sudah tiba di angkringan nya untuk menggantikan tugas sang istri yang sudah kurang lebih dua jam ada di angkringan tersebut.

Sang suami sendiri-pun sangat asik diajak untuk bercerita. Tanpa perlu pancingan pertanyaanpun, sang Bapak mau terus berceloteh menyampaikan apa yang ada di pikirannya. Melihat dua karakter yang kontras ini, jika merujuk kepada teori kepribadian yang ada, sekilas Ibu Watimin tentu punya kepribadian Melankolik-plegmatik. Sementara sang suami sendiri punya kepribadian Sanguin-Kolerik. Kekolerikan sang suami, bisa dibuktikan lewat nama dari angkringan yang dipajang oleh keluarga ini, yakni  Angkringan Bapak Tulus.

Tentu itu adalah penilaian sekilas saya. Soal kebenarannya tentu harus ada uji test kepribadian secara langsung kepada kedua orang tua ini.

Covid dan Angkringan

Tak mudah melewati masa-masa covid yang meskipun hingga kini pun virus tersebut masih ada. Mendengar penuturunan Pak Tulus, pembatasan social atau lokal lock down langsung diterapkan sebegitu rupa di daerah Yogyakarta.

Hal inipun dibenarkan oleh Dosen Antropologi UGM, Bapak Setiadi Dekan FIB saat mengajar di kelas MKIK UGM beberapa hari yang lalu. 

Bahwa meskipun secara nasional tidak eksplisit adanya lock down dan lebih memakai istilah PSBB (pembatasan sosial berskala besar), tapi di beberapa desa di Yogyakarta, dengan kebijakan dari kepala desa, hingga kepala RT nya sudah sangat ketat bagi orang-orang untuk keluar maupun masuk ke daerah mereka. Alhasil dampak covid tidak begitu besar karena lock down yang dilakukan sudah begitu sangat ketatnya.

Tampak sisi samping Angkringan Bapak Tulus (dokpri)
Tampak sisi samping Angkringan Bapak Tulus (dokpri)

Pak Tulus-pun cerita juga saat di masa-masa sulit tersebut. Ketika usaha angkringannya sudah jarang bahkan tidak ada pembeli lagi, dia bersama delapan orang satu tim menjadi tim belah bumi. Istilah untuk tim yang bertugas untuk menggali kuburan. Ketika usaha angkringan hampir tidak bisa membuat situasi ekonomi keluarga menjadi baik atau pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari, sumber lain pun muncul, yakni menjadi tim belah bumi.

Ada-ada saja pertolongan yang tak bisa dikira terjadi bagi keluarga Mbah Watimin dan Suami, Mbah Tulus. Dan pertolongan yang sama-pun hampir terjadi bagi keluarga-keluarga lainnya yang ada di bangsa ini. Buktinya kita saat ini bisa masih survive atau tetap bertahan sampai sekarang. Rasa syukur dan bangga meskipun ada kesusahan yang menimpa kita, kita selalu diberi kekuatan oleh sang Khalik untuk bisa melampauinya.

Ketika melihat ekpresi dan perjuangan mereka yang meskipun tak mudah untuk bersaing dengan penjaja makanan lainnya, angkringan Pak Tulus masih bisa tetap eksis sampai saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun