Banyak orang takut untuk bermimpi sebab ada rasa ketidakmampuan, rasa malu yang menghinggapi terlebih dahulu jika mimpi itu tidak tercapai. Bukan hanya rasa, pikiran dan ucapun seakan kelu untuk bisa mengucapkannya.
Akibat dari pikiran, rasa, ucapan dan laku yang seakan tidak berani mengucapkan mimpi bagaimana mungkin bisa mencapai mimpi tersebut di kemudian hari? Keterbatasan, kekurangan dan bahkan kemiskinan boleh dibilang menjadi pembatas banyak anak-anak remaja yang tidak berani menetapkan apa yang menjadi mimpi mereka.
Apalagi dengan kondisi di masa-masa pandemi ini, banyak anak-anak yang sudah terlalu lama belajar dari rumah, mengubur bahkan meniadakan apa yang menjadi cita-cita mereka. Daya juang mereka berkurang, kurang termotivasi untuk melakukan segala sesuatu nya dan belajar yah seadanya saja.
Tak terkecuali dengan apa yang kuhadapi saat-saat ini bersama dengan anak-anak remaja yang ku bimbing sampai saat ini. Sejak SD kelas 5 hingga mereka kini duduk di kelas 3 SMP, tentu bukan perjalanan yang singkat untuk bisa setiap minggunya bertemu dengan mereka. Ada banyak hal-hal yang kupelajari dari mereka tentang pertumbuhan mereka.
Minggu-minggu ini kami sedang belajar dan mengeksplorasi apa yang menjadi cita-cita mereka. Lewat penemuan apa yang menjadi tempramen mereka, minat, dan bakat yang tentu mengarah kepada apa yang akan menjadi mimpi atau cita-cita mereka.Â
Mengingat kembali  pengalaman demi pengalaman di masa kecil mereka dan belajar dari situ untuk bisa memperkuat apa yang menjadi panggilan mereka.
Akhirnya ketemu dan mereka satu persatu-persatupun boleh menuliskan apa yang menjadi mimpi mereka. Sangat unik dan sangat beragam dengan apa yang boleh mereka tuliskan itu. Ada yang ingin jadi dokter, polwan, fashion model, artis, penyanyi, pendeta dan lain-lain.
Tentu dengan mimpi yang sudah dituliskan itu akan menjadi pengingat bagi mereka untuk bisa terus mencapai apa yang menjadi mimpi mereka itu. Perencanaan demi perencanaan pun dilakukan tahun demi tahun apa yang akan boleh dilakukan. Bahkan mencoba merinci bulan demi bulannya.
Menemukan juga apa yang menjadi sumber daya yang akan bisa menolong mempercepat pencapaian mimpi tersebut. Dan bahkan kemarin, mereka mencoba menginspirasi adik-adik yang ada di bawah mereka di dalam komunitas FC-Future Center Desa Sibolangit.Â
Mereka terlebih dahulu menceritakan apa yang menjadi mimpi mereka. Mendorong  supaya mereka juga bisa punya cita-cita dan memfasilitasi adik-adik tingkat mereka supaya melakukan proses yang sama di dalam penemuan apa yang menjadi cita-cita mereka.
Hal ini dilakukan tentu untuk bisa menolong sejak dini apa yang menjadi cita-cita mereka. Di samping untuk membalikkan keadaan seperti yang saya kemukakan di atas, bahwa anak-anak di Indonesia khususnya di pedesaan kurang termotivasi untuk bermimpi atau punya cita-cita, sehingga hidup ini datar-datar saja, anak-anak bimbingan saya juga tentu punya pengalaman keberanian untuk menceritakan apa yang menjadi mimpi mereka kepada adik-adik mereka.
Bukan untuk gagah-gagahan tapi untuk mendapatkan support atau dukungan lewat doa-doa yang dipanjatkan.
Akhirnya lewat penemuan apa yang menjadi mimpi mereka atau tujuan mereka secara personal satu demi satu, mereka akan jauh lebih bergairah, jauh lebih bersemangat untuk bisa menghadapi tantangan demi tantangan yang mungkin datang di tengah-tengahnya.Â
Sehingga anak-anak di Indonesia khususnya di Sibolangit tidak ada lagi yang tidak punya mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H