Selalu kagum dengan satu budaya Jepang ini, yakni berani mengambil sikap untuk mundur dari jabatan publik yang diterimanya, jika ternyata dirinya tidak sanggup atau merealisasikan janji-janjinya.Â
Atau mungkin jika mereka melakukan satu saja kesalahan yang mungkin berakibat buruk kepada institusi yang dipimpinnya.
Seperti salah satu Perdana Menteri Jepang yang lalu, Shinzo Abe yang akhirnya memilih mundur karena penyakit yang dideranya. Dan terakhir adalah Presiden Komite Olimpiade Jepang, Yoshiro Mori. Mundurnya dia dari jabatan yang terbilang prestisius itu, hanya karena satu ungkapan yang bernada seksis atau merendahkan kaum perempuan.
Jika hanya dengan ungkapan-ungkapan yang bernada merendahkan saja, seorang pejabat bisa mundur, bagaimana dengan kondisi di bangsa kita? Budaya korupsi yang ditunjukkan oleh para pejabat kita, tak membuat dirinya serta merta memilih langsung mengundurkan dirinya dari jabatan yang dipegangnya.
Bahkan ternyata masih berani menunjukkan wajah yang seakan merasa tidak bersalah karena telah melakukan pencurian terhadap uang rakyat. Budaya malu seakan tidak ada lagi di tanah air kita. Hingga membuat banyak para pejabat tersebut memilih untuk korupsi demi menghidupi gaya hidup mereka yang serba wah. Atau mungkin juga untuk mengembalikan modal yang sudah terkuras habis demi mendapatkan jabatan tersebut.
Tak sedikit para pejabat kita yang akhirnya bermasalah dengan hukum, karena sikapnya yang sudah tak tahu malu lagi, jika melakukan tindakan korup ini akan berakibat buruk pada dirinya dan juga kepada keluarganya.
Kembali berkaca kepada sikap pejabat Jepang di atas, dibalik konsekuensi  terhadap satu tindakan salah saja, yakni jika tidak mampu merealisasikan janji yang sudah diikrarkannya saat dilantik dulu, mereka justru lebih memilih mundur. Bagaimanakah dengan para pejabat kita yang ada sekarang ini?
Munculnya fenomena acting ria di media-media sosial para pejabat kita. Yang tujuannya hanya untuk menunjukkan bahwa mereka sedang dan telah bekerja untuk daerah yang dipimpinnya. Padahal nyatanya, benarkah konten yang ditampilkan di media sosial tersebut sesuai dengan kondisi real yang sebenarnya?Â
 Sehingga muncul pemikiran, apakah jabatan yang diembannya sekarang ini hanya sebagai ajang untuk merengkuh jabatan yang  ada di atasnya lagi? Terus memperkaya diri sendiri yang mungkin dijadikan sebagai modal untuk mencapai ambisinya?  Padahal sebuah jabatan yang dipercayakan kepada kita sesungguhnya adalah sebagai langkah untuk mengubah nasib daerah yang dipimpinnya supaya lebih baik lagi.
Dan jika punya kesempatan untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi lagi, seharusnya diwujudkan bukan dengan menampilkan kepura-puraan, tapi hasil kerja keras yang betul-betul nyata dinikmati oleh masyarakat yang dipimpinnya. Mari kita ber-refleksi sejenak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H