Bicara tentang 1001 terkadang pikiran kita langsung tertuju kepada buku yang biasa digemari oleh orang-orang yang suka mengartikan mimpi.Â
Sebuah buku yang berisi tentang 1001 arti macam-macam mimpi. Sebuah mimpi yang tentunya akan punya nomor-nomor tersendiri. Baik itu mimpi tentang binatang maupun sedang melakukan apa maka tinggal membuka buku tersebut, langsung dapat nomor berapa mimpi tersebut.
Kenangan tentang buku yang satu ini sangat membekas waktu aku masih kanak-kanak dulu. Sebab kegeramaran orang tua duluku dan juga kebiasaan warga Sumut yang suka ngumpul-ngumpul di kedai, selalu mencoba keberuntungannya di tiap-tiap malam.Â
Dengan memasang satu atau lebih pasangan nomor yang akan diundi dimana besoknya akan keluar nomor-nomor yang dinyatakan terpilih. Tentu sambil minum-minuman air nira ditambah dengan iringan nyanyian dan gitar yang biasanya akan terdengan hingga subuh di esok harinya.
Dan orang yang dapatkan empat nomor ini biasanya sangat sedikit karena memang jarang-jarang orang akan mendapatkannya. Disamping peluangnya sangat kecil harus mengkombinasikan empat nomor sekaligus dibandingkan dengan hanya mengkombinasikan dua nomor saja. Makanya tak jarang Bapak-Bapak, bahkan Ibu-Ibu banyak memasang angka dua nomor.
Permainan keberuntungan ini seperti lotre menjadi semacam sebuah judi menjadi viral atau trending pada masanya dulu. Dimana lebih banyak menguntungkan pihak bandar dibandingkan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Tapi kini penyakit yang satu ini boleh dibilang sudah hilang karena sudah tak terdengar lagi beritanya sejak lama.
Berikut alasan rasa bangga tersebut. Pertama karena memang disini aku dilahirkan. Artinya segala kenangan kecil baik senang ataupun buruk terjadi di sini. Kenangan dari peristiwa-peristiwa tersebut akhirnya bisa membentukku menjadi seperti sekarang ini.
Bicara pengalaman dari kisah masa-masa anak-anak, remaja hingga kuliah tentu akan sangat sulit dilupakan. Menghabiskan masa-masa pendidikan dari sejak pendidikan dasar hingga tingkat SMA di kota kecil Sibolga. Kemudian kuliah di pusat Ibu Kota Sumatera Utara, Medan menjadi pengalaman yang betul-betul mengajarkan arti sebuah kemandirian dan kerja keras.
Kerja keras karena harus menyelesaikan pendidikan dengan cepat, kerja keras juga harus mencukupi biaya-biaya kuliah dengan mencari kerja sampingan. Mulai menjadi buruh bangungan, mengajar les privat hingga menjadi sales, hal-hal tersebut kulakukan untuk bisa mencukupi kebutuhan pendidikan dan kebutuhan sehari-hari selama di Medan. Â Â
Kedua, karena kemana-pun pergi akan selalu teringat Sumatera Utara kota kelahiranku. Ada sekitar lima tahun keluar dari Sumut saat masa-masa kerja dulu, yakni sejak 2008 tamat kuliah hingga tahun 2013. Sehingga akhirnya memilih kembali lagi ke Sumut dan memilih berkeluarga dan berkarir di tanah ini saja.
Juga teringat dengan khas minumannya seperti Markisa yang sangat jarang kutemukan dulu waktu ada di kota-kota lain di Sumatera Utara. Kopi Sidikalang yang kini menjadi minuman terpavorit saat ini. Dimana setiap hari sangat menikmati untuk mengkomsumsi kopi yang satu ini tanpa gula.Â
Ketiga, hal yang membuatku kagum dan bahkan menjadi orang Sumut, adalah ada banyak ratusan bahkan ribuan objek wisatanya. Memang objek yang paling terkenal yang bahkan oleh Bapak Jokowi telah mencanangkannya menjadi salah satu Bali baru yang ada di Sumatera Utara, Danau Toba. Tapi disamping Danau Toba ternyata masih banyak bahkan ribuan objek wisata yang mungkin belum diketahui oleh banyak orang.
Belum diketahui karena mungkin kurang digarap oleh warga sekitar juga karena promosi yang begitu sangat kurangnya. Dengan 25 kabupaten dan 8 kotanya, masing-masing kabupaten dan kota tersebut masih mempunyai ratusan objek wisata yang masih terpendam potensinya.
Dan bukan hanya itu, desa dimana saya tinggal saat ini, Desa Rumah Sumbul, Kecamatan Sibolangit punya bangunan peninggalan zaman Belanda dulu. Yakni berupa bangunan tebal seperti penjara buatan  Belanda. Juga ada tanggul air raksasa yang menjadi sumber air ke Kota Medan, masih tetap dipakai oleh PDAM Tirta Nauli.
Dimana sejarahnya dulu, desa ini tepat berada di daerah lembah hutan Sibolangit. Jika ada pesawat yang terbang ke atas yang mungkin akan jatuhkan bom, maka tak sedikit penduduknya yang membangun terowongan di bawah rumahnya, untuk menghindarkan dampak dari bom yang tidak diinginkan. Pengalaman ini diutarakan oleh Dr Lucas, Mantan Guru Besar UGM, asal Sibolangit dalam bukunya, 'Harta dan Warisan Sesungguhnya' (2016 : 2).
Beliau menceritakan dalam bukunya saat masa-masa agresi militer Belanda dulu, bagaimana Sibolangit menjadi medan perang dan bagaimana mereka harus berpindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain dengan berjalan kaki.Â
Keempat, ingin berpartisipasi langsung di dalam mengembangkan Sumatera Utara. Melihat banyaknya potensi tersebut timbul ide dan gagasanku bagaimana bisa memunculkan potensi-potensi baru yang belum tergali banyak. Memunculkan objek-objek wisata baru dimana orang mungkin belum melihat potensinya. Padahal jika dikaji ada begitu segudang sejarah yang terkandung di dalamnya. Yakni tentu dengan mengandalkan media sosial lewat tulisan-tulisan, foto-foto dan video.
Dimana harapannya pemerintah daerah bisa melirik dan akhirnya tergugah untuk segera membuka potensi-potensi yang masih tersimpan ini. Sebab jika pemerintah sudah tahu dan akhirnya terlibat ditambah dengan partisipasi masyarakat tentunya, maka objek tersebut akan bisa dikembangkan dengan sangat baik.
Juga mengembangkan segera potensi Sibolangit menjadi kawasan pusat olah raga sepeda. Jika melihat tiap minggunya, bagaimana para pesepeda selalu lalu lalang melewati kawasan ini. Mengapa tidak untuk membuat jalur khusus bagi para pesepeda supaya lebih menambah banyak orang-orang untuk datang berwisata ke Sibolangit?
Artinya jika ini bisa terealisasi sesungguhnya, akan membuat lapangan pekerjaan yang baru bagi warga desa yang ada. Disamping tentu menambah banyak pedagang yang akan menjajakan banyak dagangannya ketika para komunitas ini datang.
Terakhir yang mau saya sampaikan lewat tulisan ini bahwa rasa kebanggaan harus dibarengi dengan sebuah perbuatan. Jika cukup  dengan rasa berpuas diri saja tanpa melakukan suatu hal yang bisa menambah rasa kebanggaan tersebut lewat sebuah aksi, maka pasti tak tercipta hal-hal baru yang bisa membuat suatu kekaguman yang baru.
Dimana ada tanggung jawab untuk menjaga objek wisata yang lama. Yakni dengan sebuah perbuatan kecil, yakni untuk tidak membuang sampah sembarangan. Ataupun tidak melakukan hal-hal yang sudah dilarang dalam objek wisata tersebut. Dengan perbuatan kecil tersebut tentu akan menciptakan kebiasaan baik bagi kita sekaligus akan mampu memelihara objek wisata tersebut tetap awet.
Sebagai penutup, ada banyak alasan untuk bisa berbangga sebagai warga Indonesia, khususnya sebagai warga Sumut. Yakni kobarkan rasa banggamu dengan mencintainya lewat sebuah aksi positif yang meskipun dianggap kecil tapi jika banyak orang yang mengerjakannya, bukankah itu menjadi sebuah gerakan yang besar? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H