Ini salah satu beratnya menjadi sebuah media mainstream seperti Tempo. Yang punya banyak produk media yang bisa kita nikmati. Mulai dari laporan berita hariannya hingga laporan investigasinya berupa majalah mingguan.
Di mana seperti yang dilansir oleh kompas.com (12/6/2019), oleh mantan Ketua Tim Mawar Kopassus, yakni Mayjen Chairawan akhirnya bersikap tentang laporan investigatif Tim Tempo tentang adanya keterlibatan tim Mawar dalam kerusuhan 22 Mei di depan Kantor Bawaslu, dengan judul besarnya 'Tim Mawar dan Rusuh Sarinah'.
Bahkan dengan jelas pada sub judul majalah mingguan Tempo edisi 10 Juni 2019, Polisi menengarai keterlibatan penculik aktivis 1998 dalam huru-hara 22 Mei lalu. Kesaksian pelaku lapangan. Dan di situ jelas laporan investigasinya dari sosok Ketua Umum Baladhika Indonesia Jaya, organisasi pendukung Prabowo-Sandiaga.
Dahlia seakan menuturkan kepada Tempo tentang peristiwa rusuh tersebut kepada Tempo dan bagaimana akhirnya Tempo membaca transkip pembicaraan yang diduga antara Dahlia dan Ketua Bidang Pendayagunaan Aparatur Partai Gerindra, Fauka Noor Farid melalui ponsel.
Tentu sebuah media di dalam melaporkan bagaimana hasil investigasinya berasal dari beberapa sumber yang kompeten di lapangan dan bisa dipastikan akan mengikuti jalur profesional seorang jurnalis di dalam meliput seluruh rangkaian dari sumber laporan yang ada.
Inilah tantangan berat dari media sekelas Tempo. Seperti yang dilansir korporat.tempo.co, didapatkan bahwa dari sejak berdiri di tahun 1969 dan akhirnya baru bisa mengeluarkan edisi pertamanya pada 6 Maret 1971. Mereka sudah dua kali mendapatkan bredelan dari pemerintah, tepatnya di masa Soeharto. Karena terlalu membongkar seluruh aib-aib yang dikerjakan oleh pemerintah saat itu.
Sempat mandek dan seluruh tim redaksi terpecah belah sejak pembredelan kedua kalinya di tahun 1994. Dan baru bisa mulai menyusun tenaga lagi dan mengeluarkan berita 4 tahun kemudian, tepatnya pada 12 Oktober 1998, kala rezim Soeharto sudah benar-benar luluh lantah.
Sebuah jalan panjang dan berliku yang dialami sebuah media, tapi kita terkadang kurang bisa menghargai produk-produk mereka.
Mental Gratisan
Untuk suatu yang mahal tentu sebagian besar kita tidak akan suka untuk mengeluarkan sejumlah dana kita miliki. Khususnya untuk bisa mengakses berita-berita premium seperti sajian dari beberapa media mainsream yang ada di tanah air. Diantaranya kompas.id, majalah tempo, dan beberapa media berbahasa asing lainnya.
Khususnya untuk sajian laporan investigatif seperti yang diawal saya tuliskan, betapa kita begitu mudahnya untuk menshare konten-konten premium seperti yang disajikan oleh majalah tempo. Karena kitapun bisa mendapatkan terbitan edisi ini secara gratisan pula lewat whatsapp grup.
Di mana kita tinggal langsung unduh dan akhirnya bisa menikmati sajiannya. Dan karena kreatifnya kita, dan infonya juga penting untuk dishare atau dibagikan kepada banyak pihak, kitapun terjebak untuk membaginya juga, tanpa merasa terbeban modal besar yang sudah dikeluarkan oleh Tempo itu sendiri.
Tentang hal ini sempat dicuitkan oleh Kepala Bekraf, Triawan Munaf lewat akun media sosialnya. Supaya kita tidak dengan begitu mudahnya untuk menshare laporan media kepada banyak orang. Karena tempo sendiri-pun di dalam mengeluarkan laporan medianya butuh banyak modal hingga ke penerbitannya.
Dan kini mereka-pun akhirnya akan mendapatkan suatu tantangan baru sejak mereka dilaporkan dan digugat ke dewan pers perihal laporan investigatifnya tentang keterlibatan Tim Mawar dalam peristiwa rusuh lalu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI