Mohon tunggu...
Rinto F. Simorangkir
Rinto F. Simorangkir Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik dan sudah Magister S2 dari Kota Yogya, kini berharap lanjut sampai S3, suami dan ayah bagi ketiga anak saya (Ziel, Nuel, Briel), suka baca buku, menulis, traveling dan berbagi cerita dan tulisan

Belajar lewat menulis dan berbagi lewat tulisan..Berharao bisa menginspirasi dan memberikan dampak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Buruh Selalu Teringat 'Among' sampai Masa Tuanya Belum Punya Rumah

2 Mei 2019   23:00 Diperbarui: 2 Mei 2019   23:17 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi yang menjadi refleksi bagiku, hasil dari diskusiku bersamanya. Yakni disinilah letak pemerintah di dalam membuat sebuah kebijakan seharusnya yang memang berpihak kepada kesejahteraan para buruh. Dimana kerap ia bicara upah yang sebenarnya tidak layak diterima. Tapi tetap dipaksakan harus diterima oleh para buruh.

Memang kini sudah ada standard upah minimum yang harus diterima oleh para buruh. Tapi cerita dulu tentu beda dengan cerita sekarang.

Dia pernah menyebutkan sepanjang tidak ada partai buruh yang  berkuasa di parlemen, maka akan sulit untuk memperjuangkan nasib mereka. Supaya mereka bisa lebih meningkat gajinya, tentu harus ada pihak-pihak yang bisa menyuarakan suara mereka di parlemen sana untuk bisa mengelurkan gaji yang tinggi.

Sebab nyatanya di luar negeri, khususnya Jepang saja, negara yang bisa memberikan apresiasi yang besar kepada para buruhnya. Kenapa kita tidak bisa? Makanya tak heran para TKI kita tergiur kesana, sebab memang pendapatannya bisa 20 kali dari UMR yang bisa didapatkan di Indonesia. Bahkan dengan lama kerja satu harinya hanya berkisar 7 jam yang terhitung dari hari Senin hingga Jumat. Sedang Sabtu-Minggu bisa libur.

Apalagi jika ada lembur, bahkan jika menyambut hari-hari besar keagamaan, bisa mendapatkan upah 2 kali dari bulanan yang mereka dapatkan.

Jadi pertanyaannya kenapa sistem yang sama tidak bisa diterapkan di Indonesia kita ini? Maka disinila mungkin letak pentingnya dari seorang pemerintah di dalam memikirkan ke depan bagaimanakah sistem pola-pola perburuhan di tanah air kita? Apakah masih akan tetap seperti ini?

Sehingga terkadang miris, melihat Among-ku yang sampai masa tuanya kini belum punya rumah yang terbilang layak huni. Dan ketika anaknya juga tidak bisa memberikan hal yang sama kepada mereka. Karena memang situasi-situasi yang sulit seperti saat ini. Upah dan gaji yang murah yang menjadi bagian kita. Yang tetap harus disyukuri bagaimanapun itu.

Tak lupa mengucapkan Selamat Hari Buruh!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun