Membahas suatu yang tidak populer sesungguhnya sulit untuk dilakukan. Tapi demi kebaikan kita bersama, serta ada hal-hal prinsipil di dalamnya, kenapa tidak hal ini harus kita terus perjuangkan dan kita suarakan.
Jangankan untuk mendapatkan perhatian netizen secara khusus, untuk mengklik dan membaca berita yang ada di dalamnya, yakni membicarakan hak-hak warga pejalan kaki, mungkin kita rada-rada agak malas membacanya.
Sehingga rendahnya minat untuk membahas kepentingan pejalan kaki membuat kondisi ini kian miris lagi. Bahkan kalangan pihak pemerintah-pun sekalipun mungkin agak sulit untuk bisa mengembalikan fungsi trotoar sebagai mana mestinya, yakni bagi kepentingan para pejalan kaki.
Disamping pemerintahnya seakan tidak mau mengeluarkan perda khusus tentang aturan penggunaan trotoar tersebut, hal itu jugalah yang membuat para aparat penegak hukum, seperti kepolisian tampak setengah hati untuk bisa menertibkan trotoar sebagai mana mestinya.
Tak jarang kita lihat, justru trotoar-trotoar tersebut dijadikan lapak untuk bisa berjualan di pinggir jalan. Karena letaknya memang strategis dan mengundang banyak pelanggan untuk bisa mampir ke warungnya, maka banyak warga berlomba menggunakan jalan trotoar tersebut sebagai tempatnya untuk bisa berjualan.
Ditambah lagi, pengguna sepeda motor, ketika sedang macet-macetnya, bisa berubah menjadi pengendara 'nakal' yang merasa tidak bersalah lagi ketika sudah lewat melalui jalur trotoar. Hanya untuk bisa menembus kemacetan yang sedang terjadi di depannya. Â
Masifnya pelanggaran membuat kepolisian dan dinas perhubungan-pun seakan sudah menyerah untuk bisa mengembalikan fungsi dan jalan trotoar tersebut. Bahkan penulis sendiripun merasakan bagaimana polemik ini bagi seorang pengendara motor, ketika melewati trotoar seakan sudah tidak menjadi beban lagi di pikiran. Karena sudah terlanjur merasa benar padahal tidak benar.
Kesalahan-kesalahan yang terus berulang dengan sendirinya akan berubah menjadi pembenaran publik. Bahkan sangking merasa sudah benarnya, ketika si pengendara motor tersebut ditegur, yang ada justru si pengendara merasa berkuasa untuk menganiaya si penegor-nya.
Seperti yang dilansir oleh Kompas.com (8/8/2018), seorang pengendara ojek online yang kebetulan seorang ibu-ibu justru merasa sangat tidak menerima orang yang menegornya saat dia melalui jalur trotoar. Akhirnya dia memukuli si penegurnya itu, sehingga si pejalan kaki merasa sakit di sekujur tubuhnya.
Videonya juga viral saat itu. Tapi sayang momentum itu yang seharusnya sangat tepat bisa untuk melakukan perbaikan dan pengembalian fungsi jalan trotoar bagi pejalan kaki, hal tersebut tidak kesampaian lagi.
Kisahnya hilang dan berganti dengan suasana yang baru. Bahkan tahu gak, kalau hari ini, Selasa (22/1/2019) merupakan Hari Pejalan Kaki Nasional? Mungkin kebanyakan kita tidak tahu bagaimana kisahnya hari ini  bisa menjadi hari Pejalan Kaki Nasional. Peristiwanya terjadi tahun 2012 lalu, dimana seperti yang dilansir oleh news.detik.com  (22/1/2012) ada 8 orang pejalan kaki harus meregang nyawa di Tugu Tani, akibat kelalaian dari pengendara mobil Xenia.
Melalui Koalisi Pejalan Kaki dan Road Safety Association mendeklarasikan Hari Pejalan Kaki, Selasa (22/1/2013). Tanggal ini dipilih bersamaan dengan kejadian tabrakan maut di Jalan MI Ridwan Rais yang menewaskan sejumlah pejalan kaki setahun lalu.
Deklarasi diawali dengan kampanye di lokasi kecelakaan, yakni di halte Tugu Tani. Mereka membawa dua spanduk besar yang menyerukan kebutuhan untuk pejalan kaki. Datang ke Balai Kota DKI supaya membuat kebijakan yang berpihak kepada pejalan kaki. Kemudian juga meminta supaya kepolisian tidak ragu-ragu menindak para pengendara motor yang melewati jalur trotoar.
Gaungnya-pun sekarang seakan hilang di telan masa. Merasa kejadian di DKI, bukan kejadian yang akan terjadi di kota-kota lain. Sehingga pemaknaan dan untuk mengembalikan fungsi trotoar sebagai tempat warga untuk berjalan kaki sulit untuk terealisasi.
Dan memang karena sangking terlupakannya moment tersebut, membuat pejalan kaki di trotoar mendapatkan kasta terendah di dalam penegakan kedisiplinan dari sang pemerintah daerah tersebut. Mendapatkan kebijakan yang paling bawah, untuk bisa dibenahi dan diperhatikan. Bahkan itu mungkin dipicu bahwa kita sesungguhnya memang lebih gemar untuk memakai kendaraan roda dua atau empat  dibandingkan untuk berjalan kaki,meskipun rutenya tidak terlalu jauh.Â
Semoga kita bisa semakin berubah. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H