Seringnya kita sebagai orang tua, yang memberikan hukuman yang kurang dimengerti oleh si anak itu sendiri. Alih-alih sebenarnya untuk memuaskan emosi kita yang lagi memuncak akibat dari perlakuan anak yang sangat menjengkelkan, kita terkadang memberikan hukuman dengan kata-kata yang ambigu atau kata-kata yang tidak tepat sasaran.
Seperti ketika si anak menumpahkan air di cangkir minumannya. Sudahnya kita peringati dari awal, supaya hati-hati, jangan tumpah minumnya, dan tidak gonta-ganti pakaian terus. Tapi karena si anak yang memang lagi ngotot ingin pegang sendiri cangkir minumannya, akhirnya terjadi deh apa yang tidak diinginkan. Airnya tumpah mengenai bajunya dan basah.
Respon kita sebagai orang tua, terkesan spontan untuk langsung marah. Langsung deh mengeluarkan kata-kata yang ajaib alias kata-kata yang menunjukkan kekesalan kepada anak. Apalagi kalau ditambah  dengan logat khas bataknya, maka lengkap sudah hukuman bagi si anak tersebut.
"Itulah kau sudah diingatin pun", atau "teruskan yah, supaya ganti ganti terus bajumu", "gak tahu kau, dah capek mamamu nyucinya", dan lain-lain.
Hal-hal itu jugalah yang terjadi spontan di dalam diriku. Apalagi ketika memarahinya selalu dengan nada seperti mau mendukung dia untuk mengulangi terus perbuatannya, padahal maksud kita supaya dia berhenti untuk tidak melakukannya lagi. Disitulah letak ke ambiguan-nya, si anak tidak mengerti akan apa yang kita ucapkan.
Meskipun dengan nada yang terkesan marah, tapi ketika pesan yang disampaikan kepada si anak, malah mendukung perbuatan salah yang ia lakukan, maka terjadi distorsi pesan kepada si anak. Si anak malah tidak paham akan kemarahan kita kepadanya.
Olehnya penting untuk mengukur sudah sejauh mana keefektif-an sebuah hukuman kalau memarahi seorang anak. Pertama penting untuk melihat usianya. Sudah sejauh mana tingkat pengertian bahasa si anak.
Sepanjang yang kuamati terhadap kedua anakku, yang satu berusia 3 tahun dan yang satunya lagi berusia 1,5 tahun, tingkat kemarahan kepada mereka berdua tentunya berbeda. Terkadang istriku lebih mengena memberikan hukuman kepada mereka ketimbang diriku. Sebab diriku mungkin lebih mudah terpancing emosinya untuk segera marah dibandingkan istriku yang masih lebih bisa meredam suasana.
Dia akhirnya lebih sering menasehati ku, terkhusus untuk anakku yang pertama berusia 3 tahun. Supaya diriku memberikan kata-kata hukuman yang jelas bagi anak. Bukan malah membuat si anak tambah bingung.
Belajar banyak dari pemberian hukuman tersebut atau pemberian konsekuensi terhadap perbuataan si anak. Belajar untuk memberikan hukuman yang pas, hukuman yang setimpal, dan tentunya bisa dimengerti mereka sendiri.
Sebab tentunya akan percuma, jika maksud dari tujuan hukuman yang kita berikan tidak bisa mereka mengerti. Berharap untuk tidak mengulanginya, tapi faktanya, anak-anak akan terus mengulang suatu kesalahan yang mungkin tampak sama.