Ada dua istilah yang baru-baru ini aku ketahui sejak satu tahun terakhir ini. Pertama kata Begal yang kedua kata “Persekusi”. Kedua kata ini sering muncul setelah melihat adanya fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Aku sendiri pun langsung mencoba mencari arti kata kedua ini dalam kamus bahasa Indonesia online. Ternyata kutemukan bahwa begal itu adalah Penyamun (orangnya). Membegal berarti merampas di jalan atau menyamun. Sedangkan Perkusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah atau ditumpas.
Kedua kata tersebut masuk kedalam kategori tindakan kejahatan. Setelah fase “pembegalan” sepertinya telah usai, masuklah kepada fase sekarang yang namanya “persekusi”. Kalau kita melihat sekilas proses pembegalan itu sepertinya murni karena faktor ekonomi yang semakin sulit dan mulai susahnya hidup di jaman sekarang ini.
Sedang kalau Persekusi bukan karena faktor ekonomi tapi cenderung karena faktor “kebutaan”. Baik kebutaan akan mata hati dan pikirannya. Buta karena tidak bisa lagi melihat dan memilah mana yang benar mana yang salah. Seakan-akan bisa mengkultuskan atau mendewakan salah satu figur yang sangat dihormati. Ketika figur itu melakukan satu kesalahan kecil dan berakibat kepada masuknya ke proses hukum yang lebih lanjut, dinyatakan itu bukan kesalahan. Dan bahkan kita dibawa kepada satu istilah “kriminalisasi”.
Padahal sudah masuk ke ranah hukum dan prosesnya sedang berlangsung. Yah dimana seorang manusia tidak pernah melakukan suatu kesalahan. Pasti semua orang pernah melakukan kesalahan. Tidak terkecuali ‘Pemimpin’ kita. Tapi kalau perbuatannya sudah melanggar bukan hanya norma susila tapi sudah masuk ke norma hukum, yah semua perbuatannya harus berani dipertanggung jawabkan.
Jangan hanya berani untuk menuntut tegaknya hukum kepada orang lain yang memang benar melakukan suatu kesalahan, tapi dirinya sendiri tidak berani dituntut. Bahkan sekalipun kita memiliki massa yang cukup banyak dan sudah tersebar dibeberapa daerah, seharusnya kita berani menunjukkan kualitas diri kita, yang berani berbuat yah berani bertanggung jawab. Seakan-akan, kita mencoba massa kita itu menjadi tameng perlindungan kita untuk bisa terhindar dari segala bentuk penegakan hukum.
Dan ketika ada orang lain yang menilai, menjelekkan “figur” tersebut, seluruh anggota massa tersebut tidak bisa menerima. Bahkan langsung bertindak mengambil jalur kewenangannya aparat keamanan. Memata-matai, membuntuti, dan bahkan langsung mengeksekusi orang tersebut untuk segera menarik pernyataannya dan segera meminta maaf atas pernyataannya tersebut. Tidak jarang dilakukan dengan kekerasan. Bahkan sang pelaku tidak bisa lagi membedakan mana yang masih dibawah umur dan mana yang sudah dewasa.
Sehingga muncullah istilah Persekusi ini dibumi Indonesia yang kita cintai ini. Sungguh sedih memang melihat kondisi bangsa kita sekarang. Negara-negara lain sedang sibuk untuk mengkapling-kapling luar angkasa, kita masih sibuk untuk urusan yang seharusnya di ranah privasi kita saja, seperti SARA. Terjadi kemunduran aklak maupun jiwa bangsa kita. Seakan-akan negeri kita menjadi negeri Barbar, dimana yang kuat dan ramai yang pasti menang.
Padahal negara kita ini adalah negara hukum. Semua orang sama dimata hukum. Bahkan pejabat sekalipun ketika melakukan tindakan pelanggaran hukum yah harus dihukum. Apalagi masyarakat biasa maupun kalangan pemuka agama. Ketika melakukan suatu kesalahan yang melanggar norma hukum yah harus bersedia untuk menerima proses hukum.
Buntunya Kebebasan Berekspresi
Melihat kondisi kasus Persekusi diakhir-akhir ini yang muncul dipermukaan dan sedang diproses oleh pihak yang berwajib ada sekitar 59 kasus. Bukan hanya di Jakarta, kasus-kasus yang serupa sudah terjadi hampir dibeberapa kota-kota besar di Indonesia. Takutnya ‘virus’ persekusi’ ini sudah mengena hampir keseluruh wilayah Indonesia. Sebab pada faktanya bahwa massa dari ‘sang figur’ ini sudah tersebar hampir keseluruh wilayah Indonesia. Ketika ada orang yang menyinggung sedikit saja pun tentang ‘sang figur’ ini, tolong berhati-hatilah.
Dengan kata lain..’kehati-hatian’ ini sekarang seperti sedang membelenggu kita akan mengekspresikan sikap dan pendapat kita tentang suatu masalah atau tokoh tertentu. Seharusnya negara menjamin kebebasan untuk mengemukakan pendapat, asal saja jangan melakukan seperti pencemaran nama baik atau fitnah yang tidak berdasar. Tapi kalau berdasarkan kondisi yang ada dan fakta yang tampak oleh mata kita, masak kita harus dibelenggu untuk tidak menyuarakan kebenaran.
Kita tinggal diwilayah yang sama daerah yang sama. Meskipun kita berbeda baik dalam hal ‘prinsip’ dan lain-lain, seharusnya kita bisa mengelola setiap perbedaan-perbedaan yang ada untuk kebaikan kita bersama. Bukan malah sebaliknya, kita harus berpisah dan bahkan saling bermusuhan hingga saling menyakiti satu sama lain. Perbedaan itu indah, ketika kita bisa saling mengerti satu sama lain. Tidak ada unsur untuk pemaksaan penyamaan satu pendapat. Ketika terjadi pemaksaan disitulah terjadi suatu konflik.
Terakhir, mungkin kita perlu sekali lagi memahami akan satu istilah yang mungkin sudah kita ketahui bersama. “Berani karena benar, takut karena salah”. Bukan ‘berani karena banyak’ tapi karena kita memang betul-betul melakukan suatu kebenaran.
Sibolangit, 4Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H