Jika seandainya negara kita memiliki luas lahan tanaman kedelai 300 ribu hektare saja dengan  rata-rata hasil panen 2,5 ton/hektare dan perkiraan 3 kali panen dalam setahun maka akan dihasilkan 2,25 juta ton kedelai.
Dan jika seandainya negara kita benar-benar memiliki luas lahan tanaman kedelai 1 juta hektare dengan produksi rata-rata 2,5 ton/hektare dan 3 kali panen setahun, maka akan dihasilkan kedelai sebanyak 7,5 juta ton.
Tetapi jika produksi pertahun hanya 750 ribu ton saja maka luas lahan tanaman kedelai di Indonesia hingga saat ini diperkirakan tidak lebih dari 100 hektare saja dengan rata-rata produksi 2,5 ton/hektare dan 3 kali panen setiap tahun.
Mengapa Petani Enggan Menanam Kedelai?
Mengutip dari Kompas (14/1/2021) alasan petani enggan menanam kedelai adalah karena biaya produksinya mahal sekitar Rp 5.000-6.000 per kg sedangkan harga jualnya ketika itu relatif sangat rendah sekitar 6.000-7.000 per kg.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 menunjukkan bahwa petani hanya dapat mendapatkan keuntungan sekitar 1 juta per hektare dalam waktu tanam dan olah 100 hari lebih.
Itulah alasannya mengapa petani enggan menanam kedelai dan beralih ke tanaman yang lebih menguntungkan seperti jagung, cabe dan sayur-mayur. Disamping itu mutu kedelai lokal juga dikatakan kalah dengan mutu kedelai impor.
Beberapa sumber juga mengatakan bahwa daerah yang paling baik untuk tanaman kedelai adalah sub tropis sedangkan daerah tropis seperti Indonesia agak kurang baik.
Apakah Indonesia Tidak Lebih Baik Mensubsidi Petani dan Tidak Bergantung pada Kedelai Impor?
Jika harga kedelai dunia pada minggu kedua Januari 2022 sekitar US$13,77 per bushel, atau setara dengan US$505 per ton maka harga 3 juta ton kedelai setara US$ 1.515 miliar atau setara dengan Rp 21,85 triliun.
Dengan duit sebanyak itu, apakah tidak lebih baik jika pemerintah melalui kementerian pertanian membuka lahan tanaman kedelai dan juga membina serta mensubsidi petani agar mereka beralih menanam kedelai?