Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apakah Kurikulum Merdeka Masih Ada Setelah 2024?

22 Februari 2022   02:00 Diperbarui: 25 Februari 2022   08:56 2897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pada penerapan Kurikulum Merdeka, refleksi menjadi bagian penting yang tidak boleh ditinggalkan, baik oleh siswa, guru, maupun kepala sekolah. Berdasarkan refleksi ini, sekolah dapat merancang program, pelaksanaan, serta tindak lanjut supervisi.(DOK. TANOTO FOUNDATION)

Apakah Perubahan Kurikulum itu Sesuatu yang Urgen?

Kurikulum merupakan pedoman dasar dalam pembelajaran di sekolah maupun universitas. Agar apa yang dipelajari di sekolah dan universitas bermanfaat bagi kehidupan dan untuk kemajuan bangsa dan negara maka kurikulum yang digunakan harus benar-benar berkualitas.

Sebuah kurikulum dikatakan berkualitas apabila kurikulum itu dapat menjawab tantangan zaman dan dapat mengantisipasi perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus-menerus berkembang tanpa henti.

Untuk itu kurikulum harus selalu dievaluasi dan terus dikaji secara matang lalu dikembangkan secara berkala. Tidak boleh asal jadi apalagi karena unsur kepentingan politik atau proyek. 

Karena sesungguhnya tujuan perubahan kurikulum adalah untuk beradaptasi dengan situasi kekinian sehingga dihasilkan peserta didik yang kreatif, inovatif, terampil, berkarakter dan berdaya saing tinggi di masa depan.

Mengutip dari (Mohammedi, 2016:49), sejak merdeka hingga 2016, Indonesia telah melakukan perubahan kurikulum sebanyak 10 kali, yaitu: 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013. 

Tangkapan layar dari mitrakuliah.com
Tangkapan layar dari mitrakuliah.com

Dan jika diikutkan dengan kurikulum "merdeka belajar" maka hingga menjelang 77 tahun Indonesia merdeka, bangsa kita telah mengalami perubahan kurikulum sebanyak 11 kali. Atau jika dirata-ratakan, telah dilakukan perubahan kurikulum setiap 7 tahun sekali. Apakah itu terlampau sering atau terlalu jarang?

Jawabannya sangat sederhana. Silahkan amati dengan saksama, apakah perubahan kurikulum itu memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas peserta didik? Dan apakah kurikulum tersebut lahir melalui pengkajian yang benar-benar serius?  

Apakah Pemeo "Ganti Menteri Ganti Kurikulum" Mitos atau Fakta?

Berdasarkan data dari Kemdikbudristek, sejak bangsa kita merdeka telah terjadi pergantian kabinet sebanyak 44 kali dan pergantian menteri pendidikan sebanyak 34 kali. Artinya jika setiap "ganti menteri ganti kurikulum" maka setidaknya kita sudah 34 kali mengalami pergantian kurikulum, namun faktanya baru 11 kali.

Jika diperhatikan, perubahan kurikulum paling cepat itu terjadi pada perubahan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK 2004) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006), dengan rentang waktu kurang-lebih 2 tahun. Sedangkan yang terlama adalah perubahan kurikulum 1952 ke kurikulum 1964 (kurang lebih 12 tahun)

Selebihnya adalah: 1947-1952 (kira-kira 5 tahun), , 1964-1968 (sekitar 4 tahun), 1968-1975 (kurang-lebih 7 tahun), 1976-1984 (kurang-lebih 8 tahun), 1984-1994 (kurang-lebih 10 tahun), 1994-2004 (kurang-lebih 10 tahun) dan 2006-2013 (kurang-lebih 7 tahun).

Jadi sebutan "ganti menteri ganti kurikulum" adalah mitos. Hanya saja jika diperhatikan, dari 2004 hingga sekarang, kita telah mengalami pergantian kurikulum sebanyak 4 kali dalam kurun 18 tahun. 

Dan jika dirata-ratakan setiap 4,5 tahun sekali terjadi perubahan kurikulum sehingga "ganti menteri ganti kurikulum" seakan menjadi fakta.

Bagaimana Pengalaman Saya dalam Mengikuti dan Menjalankan Kurikulum?

Saya menjadi peserta didik dalam 3 kurikulum berbeda, yaitu kurikulum 1975, 1984 dan 1994. 

Jika Anda bertanya mengenai pengalaman saya selama menjadi peserta didik dalam ketiga masa tersebut maka jawabannya adalah "sama saja". Mengapa bisa demikian?

Hal itu sangat lumrah. Kurikulumnya memang berbeda tetapi guru yang mengajarkannya tetap sama. Kurikulum baru di tangan produk lama tetaplah sama. Guru tetap lebih mendominasi pembelajaran dengan ceramah sedangkan siswa tetap pasif seperti patung. 

Peserta didik disuruh menghafal dan tidak dilatih berpikir kritis, kreatif dan inovatif. Dan tidak diberikan ruang yang cukup untuk mengkomunikasikan ide dan gagasannya. Semuanya serba text book dan kaku. Tidak ada diskusi yang antusias antara sesama peserta didik dan guru sebagai fasilitator.

Kurikulum 1984 yang disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) kemudian diplesetkan menjadi Catat Buku Sampai Abis. Mungkin karena gurunya kebingungan lantas menyuruh salah seorang siswanya menulis di papan tulis sedangkan siswa lainnya mencatat di buku masing-masing.

Selanjutnya saya menjadi pengajar dalam 3 kurikulum yang berbeda, yaitu KBK 2004, KTSP 2006 dan Kurikulum 2013 dan dalam waktu yang tidak lama akan bertemu dengan kurikulum "merdeka belajar". 

Bagaimana kesan saya saat menjadi pengajar dalam ketiga kurikulum tersebut?

Jawabannya adalah bahwa implementasi dari ketiga kurikulum tersebut terkesan terlalu buru-buru dan persiapannya termasuk buruk. 

Contohnya: KBK 2004 yang disebut sebagai kurikulum kompetensi dalam waktu kurang-lebih 2 tahun harus mengalami perubahan menjadi KTSP 2006 karena dianggap terlalu "gemuk"

Maka dilakukan perampingan atau penyederhanaan materi pembelajaran agar beban kurikulum tidak terlalu berat. Sedangkan penggunaan Sistem Kompetensi-Kompetensi Dasar (SK-KD) pada kedua kurikulum tersebut tetap sama.

Kemudian saat KTSP 2006 di implementasikan terus dilakukan perbaikan atau revisi terutama terhadap Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Selalu ada saja yang diintegrasikan ke dalam kurikulum seperti: karakter, wawasan lingkungan, dsb. 

Belum lagi implementasi KTSP berjalan dengan baik kemudian tiba-tiba muncul kurikulum 2013 atau yang lebih populer dengan sebutan Kurtilas.

Perbedaan mendasar antara kurikulum KTSP dan Kurtilas adalah, jika KTSP tadinya menggunakan sistem SK-KD maka Kurtilas menggunakan KI-KD.

Kompetensi Inti (KI) terdiri dari KI-1 menyangkut Spritual dan KI-2 mengenai Sosial. Sedangkan Kompensi Dasar terdiri dari KD-3 untuk Pengetahuan dan KD-4 untuk Ketrampilan.

Apa yang paling mengesankan dari KTSP dan Kurtilas? 

Jawabannya adalah administrasinya sangat banyak dan ribet. RPP-nya harus lengkap dan lembaran penilaiannya juga banyak. Hal itu tentu saja menyita waktu dan energi guru untuk menyiapkannya.

Apakah Perubahan Kurikulum Memberikan Dampak yang Positif Terhadap Kualitas Pendidikan Kita?

Jika hasil tes The Program for International Student Assessment (PISA) dijadikan sebagai acuan maka kualitas pendidikan Indonesia sesungguhnya berada dalam situasi dan kondisi yang sangat mengkuatirkan.

Berikut peringkat Indonesia selama berpartisipasi dalam PISA yang saya rangkum dari Wikipedia:

(Reading)

  • Tahun 2000, ranking 38 dari 40 negara dengan nilai 371 dari rata-rata 493
  • Tahun 2003, ranking 38 dari 39 negara dengan nilai 382 dari rata-rata 494
  • Tahun 2006, ranking 46 dari 51 negara dengan nilai 393 dari rata-rata 489
  • Tahun 2009, ranking 53 dari 57 negara dengan nilai 402 dari rata-rata 493
  • Tahun 2012, ranking 57 dari 61 negara dengan nilai 396 dari rata-rata 496
  • Tahun 2015, ranking 67 dari 73 negara dengan nilai 397 dari rata-rata 493
  • Tahun 2018, ranking 73 dari 78 negara dengan nilai 371 dari rata-rata 454

(Matematika)

  • Tahun 2003, ranking 37 dari 39 negara dengan nilai 360 dari rata-rata 499
  • Tahun 2006, ranking 47 dari 52 negara dengan nilai 391 dari rata-rata 494
  • Tahun 2009, ranking 55 dari 57 negara dengan nilai 371 dari rata-rata 495
  • Tahun 2012, ranking 60 dari 61 negara dengan nilai 375 dari rata-rata 494
  • Tahun 2015, ranking 66 dari 73 negara dengan nilai 386 dari rata-rata 490
  • Tahun 2018, ranking 73 dari 79 negara dengan nilai 379 dari rata-rata 459

(Sains)

  • Tahun 2006, ranking 48 dari 52 negara dengan nilai 393 dari rata-rata 498
  • Tahun 2009, ranking 55 dari 57 negara dengan nilai 483 dari rata-rata 501
  • Tahun 2012, ranking 60 dari 61 negara dengan nilai 382 dari rata-rata 501
  • Tahun 2015, ranking 65 dari 73 negara dengan nilai 403 dari rata-rata 493
  • Tahun 2018, ranking 71 dari 79 negara dengan nilai 396 dari rata-rata 459

Perlu diketahui PISA adalah studi di seluruh dunia oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) di negara-negara anggota dan non-anggota dimaksudkan untuk mengevaluasi sistem pendidikan dengan mengukur kinerja skolastik murid sekolah 15 tahun tentang matematika, sains, dan membaca.

Hal itu menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita masih sangat rendah dan perubahan kurikulum ternyata belum memberikan dampak yang positif untuk perkembangan pendidikan kita.

Bagaimana Tanggapan Saya Terhadap Kurikulum Merdeka Belajar?

Saya baru mendengar sekilas dan belum pernah mengikuti sosialisasi Kurikulum Merdeka Belajar. Tetapi 3 hal yang saya ketahui dari kerikulum ini seperti saya kutip dari kurikulum.kemdikbud.go.id, adalah:

  1. Pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila
  2. Fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi
  3. Fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal

Menurut saya ada tiga buah kata yang sangat menarik dari kurikulum merdeka belajar: projek, esensial, dan diferensiasi.

Berbasis projek berarti pembelajaran yang direncanakan untuk menghasilkan sebuah produk, materi esensial berarti menekankan materi yang paling mendasar dan hakiki sedangkan diferensiasi berarti membedakan penekanan pembelajaran dan penilaian terhadap siswa sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Tanpa membahas lebih banyak, menurut saya kurikulum merdeka belajar adalah kurikulum yang bagus dan memberikan kesempatan lebih kepada guru dan siswa untuk berimprovisasi, berinovasi, dan berkreasi. 

Semoga kurikulum ini benar-benar dapat diimplementasikan sebaik mungkin sehingga pendidikan di negara kita semakin membaik.

Tetapi pertanyaan yang masih tersisa di hati saya seperti judul artikel ini adalah, apakah kurikulum merdeka belajar masih tetap ada setelah 2024?

(Catatan: kutipan tentang ranking PISA sudah tayang di Facebook atas nama akun saya sendiri Rintar Ysecypyp Sipahutar Fog)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun