Saya sudah berulangkali membacanya tetapi tidak pernah bosan. Mungkin tidak berlebihan jika saya menyebut "Robohnya Surau Kami" (1955), karya Ali Akbar Navis sebagai cerpen terbaik yang pernah ditulis oleh sastrawan Indonesia, hingga saat ini. Saya menyebut demikian karena beberapa alasan diantaranya:Â
Pertama, keberanian A A Navis mengangkat tema yang sangat jarang disentuh oleh sastrawan pada masa itu hingga sekarang, yaitu kritik terhadap pemeluk agama Islam yang notabene juga agama A A Navis sendiri yang saya sebut sebagai autokritik, dengan bahasa yang sangat tajam dan vulgar.Â
Tokoh Haji Saleh digambarkan sebagai umat yang sangat rajin menyembah Tuhan. Siang dan malam bahkan setiap saat, tidak ada pekerjaan lain dari Haji Saleh selain beribadah, menyebut nama Tuhan dalam segala situasi, serta rajin membaca kitab suci. Itulah mengapa Haji Saleh sangat yakin akan masuk surga saat sedang berantri di akhirat.
Tetapi dalam segala tingkah ketaatannya ternyata Haji Saleh sama sekali tidak mengerti "hakikat beribadah". Sehingga Haji Saleh tidak pernah mengerti apa sebenarnya yang dikehendaki Tuhan dari ibadahnya. Haji Saleh berpikir bahwa Tuhan itu mabuk disembah dan suka pujian saja, sehingga hal itulah yang selalu dilakukannya setiap hari.
Haji Saleh juga berpikir bahwa dengan rajin beribadah, pintar mengaji dan menghafal luar kepala isi kitab suci, itu sudah cukup. Tetapi hakikat ibadah yang sesungguhnya ternyata bukan itu. Tidak cukup hanya pintar mengaji dan hafal ayat kitab suci luar kepala namun harus dimasukkan ke hati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tuhan menginginkan ibadah yang seutuhnya, yaitu diikuti perbuatan nyata dalam kehidupan, seperti tidak suka saling berkelahi, tidak saling menipu dan saling memeras serta tidak pemalas, dsb. Intinya ibadah yang sesungguhnya tidak boleh egoistis atau mementingkan diri sendiri, tetapi harus memperhatikan saudara sekaum, anak, istri dan harus rajin beramal untuk membantu sesama.Â
Karena ketidaktahuannya itulah maka Haji Saleh tidak habis pikir ketika dirinya dimasukkan ke neraka. Di satu sisi dia yakin bahwa Tuhan tidak mungkin silaf tetapi di sisi lain dia malah mempertanyakan dan ingin mengingatkan Tuhan kalau-kalau Dia mungkin silaf.
 Tetapi lebih parahnya lagi ketika di neraka Haji Saleh berjumpa dengan teman-temannya yang tidak kurang ketaatannya dalam beribadah. Bahkan dengan salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula, juga masuk ke dalam neraka jahanam itu.
Kedua, "Robohnya Surau Kami" adalah cerpen kontemporer yang selalu up to date atau kekinian dan tidak akan pernah usang di makan zaman. Selalu sesuai dengan situasi masa lalu, masa kini dan di masa yang akan datang. Sosok seperti Haji Saleh itu dengan segala tingkahnya masih selalu relevan dengan situasi saat ini bahkan di masa yang akan datang.
Jika diperhatikan salah satu "tabiat" Haji Saleh dan teman-temannya yang tidak kurang taatnya beribadat adalah selama di dunia mereka suka demonstrasi, suka protes meneriakkan resolusi dan revolusi. Hal itupun terbawa-bawa hingga ke akhirat, bahkan Tuhan pun mereka protes dengan berdemonstrasi dan Haji Saleh tampil sebagai pemimpin dan juru bicara.
Dalam salah satu dialog, Tuhan bertanya kepada rombongan demonstrasi yang dipimpin Haji Saleh mengenai negara asal mereka: "Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?"
Saya pikir hal ini masih terjadi sampai saat ini, dimana sesama bangsa sendiri sering "bersoal-soal" tentang hal-hal yang seharusnya tidak perlu, terutama masalah agama yang selalu dikait-kaitkan dengan masalah dukung-mendukung dalam Pilkada/Pilpres, dll, dan tidak jarang menimbulkan "kekacauan" dalam skala kecil. Dan kita tidak pernah sadar bahwa dalam keadaan seperti itu bangsa lain sudah mengambil banyak keuntungan.
Ketiga, Robohnya Surau Kami, adalah autokritik terhadap semua umat beragama dan tidak hanya untuk umat Islam saja. Tetapi juga kepada saya sendiri sebagai pemeluk agama Kristen dan siapa saja yang mau jujur mengakuinya.Â
Dulu saya juga berpikir bahwa ketaatan beragama itu hanya dititikberatkan pada kegiatan-kegiatan ritual peribadatan saja seperti pergi ke gereja mengikuti kebaktian Minggu, ibadah tengah Minggu dan perayaan hari besar agama saja. Rajin berdoa dan membaca kitab Injil, saya pikir itu sudah cukup. Sudah merasa menyenangkan Tuhan, lalu merasa lebih benar dari yang lainnya yang tidak serajin seperti saya.
Haji Saleh adalah representasi dari umat beragama yang menurut saya bukan hanya agama Islam saja tetapi semua umat beragama lain yang memahami ibadah hanya sebatas ritual. Yang lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Yang mengira bahwa Tuhan suka pujian, mabuk di sembah saja.
Perlu digarisbawahi, Haji Saleh masuk neraka bukan karena dia beragama Islam. Bukan pula karena dia taat beribadah. Tetapi karena ketaatan Haji Saleh hanya di luarnya saja tetapi tidak meresap dalam kehidupan sehari-hari. Haji Saleh beragama semata-mata hanya karena takut masuk neraka bukan karena sepenuhnya mencintai Tuhan lalu ditunjukkan melalui cinta terhadap kaumnya, anak, istri dan sesamanya.
(Bersambung...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H