Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kelompok Tak Dikenal Guncang Arab Saudi, Perang Harus Terpelihara agar Selalu Ada

27 Januari 2021   22:55 Diperbarui: 28 Januari 2021   16:58 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : tangkapan layar dari Kompas.com

Hanya beberapa hari setelah Joe Biden dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat menggantikan Donald Trump, Riyadh ibu kota Arab Saudi diguncang ledakan keras. 

Ledakan tersebut diduga berasal dari serangan rudal pemberontak Houthi di negara tetangga Yaman yang berjarak sekitar 435 mil atau 700 kilometer dari ibukota Riyadh.

Tetapi Houthi membantah bertanggungjawab. Kemudian sebuah kelompok tak dikenal yang menamakan diri Alwiya Alwaad Alhaq mengeklaim bertanggung jawab atas insiden tersebut, sebagaimana dilansir Reuters.

Arab Saudi sudah berulang kali diserang rudal dan pesawat tak berawak, bahkan tiga hari sebelumnya Arab Saudi berhasil mencegat proyektil yang ditembakkan di atas ibukota Riyadh.

Arab Saudi menjadi target serangan pemberontak Houthi sejak 2015 karena Arab Saudi telah memimpin intervensi militer terhadap Houthi sebagai bentuk dukungan terhadap Yaman.

Apakah ada hubungan pergantian presiden di Amerika Serikat dengan serangan Houthi ke Riyadh? Yang jelas pada Senin (21/1/2021) Pemerintahan Biden baru saja membekukan sanksi atas kesepakatan dengan Houthi selama sebulan.

Pertanyaannya adalah: sampai kapan perang di negara-negara Timur Tengah dan Afrika akan berakhir?

Jawabannya: tidak akan pernah berakhir. Perang harus terpelihara agar selalu ada. Ada kepentingan besar bagi negara-negara produsen senjata agar senjata mereka tetap laku.

Industri senjata sudah menjadi bisnis yang sangat menggiurkan dan menjanjikan bagi negara-negara produsen senjata. Untuk itu segala skenario harus dimainkan agar suasana selalu kelihatan genting dan mencekam. 

Keadaan chaos harus diciptakan di dalam sebuah negara atau antar negara tetangga. Agar masing-masing pihak berlomba-lomba membeli senjata, untuk sekedar jaga-jaga atau bahkan untuk menyerang lebih dulu. 

Dan negara-negara kaya penghasil minyak seperti Timur Tengah nampaknya adalah sasaran yang sangat empuk. Potensi untuk konflik disana dengan isu-isu sensitif sangat tinggi. Dan uang mereka untuk membeli senjatapun nampaknya lebih dari cukup.

Ketika itulah produsen senjata bak pahlawan kesiangan menawarkan jualannya. Mulai dari senjata terbaru yang paling canggih untuk pertahanan atau untuk menyerang, dengan harga yang bisa untuk anggaran belanja negara berkembang hingga setahun. 

Darimana senjata pemberontak Houthi, misalnya? Apakah mereka mempunyai cukup uang untuk membeli senjata? Bisa jadi mereka punya. Tetapi jika mereka dikasih gratispun, penjualan senjata ke negara-negara disekitarnya yang berjaga-jaga sudah memberikan keuntungan yang sangat besar.

Satu lagi, kira-kira bagaimana cara memasok senjata ke pemberontak sementara harus melewati banyak negara? Sekali lagi ini masalah bisnis persenjataan. Ada banyak yang terlibat dan masing-masing yang memberi andil akan mendapatkan upah.

Melansir dari Stockholm Internasional Peace Research Institut (SIPRI), Amerika Serikat menjadi negara pemasok 61 persen senjata dunia dengan total penjualan tahun 2019 sebesar US$361 milyar atau sekitar Rp 5.107, 067 triliun atau Rp 5,1 kuadriliun ($1 = Rp 14.147,-).

Di urutan kedua Republik Rakyat China berhasil menggeser Rusia, dengan memasok penjualan 15,7 persen senjata dunia. Sedangkan 23,3 persen lainnya diperebutkan Rusia, Perancis, Jerman, Italia dan negara-negara Eropa lainnya.

Berdasarkan data SIPRI dari jajaran "Top 25" perusahaan produsen senjata dunia, urutan pertama hingga kelima ditempati oleh perusahaan Amerika Serikat antara lain: Lockheed Martin, Boeing, Northrop Grumman, Raytheon dan General Dynamics.

Kemudian di urutan enam, tujuh, delapan dan sepuluh ada perusahaan asal China: AVIC, CETC, Norinco dan L3Harris Technoligies, sedangkan diurutan kesembilan ada perusahaan asal Inggris BAE System. 

Berikut penghasilan sepuluh perusahaan produsen senjata pada 2019 berdasarkan data SIPRI, dengan total penjualan sekitar Rp 5,5 kuadriliun

Lockheed Martin, Amerika Serikat (Rp 622,8 triliun), Boeing, Amerika Serikat (Rp 374,1 triliun), Raytheon, Amerika Serikat (Rp 331,1 triliun), BAE System, Inggris (Rp 317,5 triliun), Northrop Grumman, Amerika Serikat (Rp 622,8 triliun), 

General Dynamics, Amerika Serikat (Rp 269 triliun), Air Bus Grup (Rp 156,6 triliun), Thales, Perancis (Rp 124,7 triliun), Leonardo, Italia (Rp 112 triliun), Almez-Antey, Rusia (Rp 117,8 triliun),

Setelah melihat data tersebut di atas, apa yang harus kita perbuat? Apakah kita ikut berlomba-lomba dalam pembelian senjata? Atau berusaha menciptakan dan memproduksi senjata canggih lalu menjadi produsen senjata?

Yang jelas negara produsen senjata di dunia akan selalu berusaha menciptakan skenario agar perang terpelihara dan selalu ada demi kepentingan bisnis senjata yang menggiurkan.

Masalahnya adalah apakah negara-negara seperti di Timur Tengah, Afrika dan termasuk Asia mau diobok-obok?

Sumber: Kompas.com, SIPRI.org, Akurat.co, CNN Indonesia, liputan6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun