Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejauh Mana Koteka Perlu Dilestarikan?

8 Agustus 2019   14:03 Diperbarui: 8 Agustus 2019   23:49 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iya, hanya generasi tua dari Suku Dani saja yang mengenakan koteka. Itupun hanya di kampung-kampung yang jauh dari kota. Generasi muda Suku Dani sudah tidak atau jarang mengenakan koteka lagi. Dan salah satu cara mempertahankannya adalah dengan mengenakannya setiap hari atau dalam acara adat atau jika ada siswa atau mahasiswa masuk ruang kelas bisa berkoteka. Sebagai dosen saya memperbolehkannya, bagi saya koteka itu sama halnya dengan batik, sehingga penggunaan koteka dan pohon labu perlu dilestarikan. Untuk itu koteka perlu diusulkan sebagai warisan dunia UNESCO," (Hari Suroto-Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih, Jayapura, Tempo.co 15/7/2019)

Apakah Anda sependapat dengan pemikiran Pak Suroto, seorang dosen antropologi yang juga merupakan peneliti Balai Arkeologi Papua? 

Yaitu, ingin mempertahankan koteka dengan mempersilakan generasi muda seperti siswa dan mahasiswa menggunakannya ke sekolah atau ke kampus? Menyamakannya dengan batik dan mengusulkannya ke UNESCO untuk dijadikan sebagai warisan dunia?

Dan jika Anda bertanya kepada saya, apakah saya setuju dengan pemikiran Pak Suroto? Saya tidak akan menjawab setuju atau tidak setuju karena saya pikir hal itu adalah sesuatu hal yang sensitif, dengan alasan:

Pertama, karena saya bukan Suku Dani maka jika saya mengatakan "tidak setuju", nanti bisa-bisa saya dianggap tidak menghargai budaya Suku Dani lalu dituduh SARA.

Kedua, karena budaya memang merupakan perangkat yang rumit yang terbentuk melalui proses panjang dan lama secara turun-temurun, maka budaya memiliki keistimewaannya tersendiri bagi pemiliknya. Jadi sangat wajar jika suatu suku akan marah jika budayanya "diusik".

Tetapi jika saya boleh bertanya kepada Pak Suroto, apakah Pak Suroto mau menggunakan koteka dalam aktivitasnya sehari-hari termasuk menggunakannya ke kampus? Saya pikir pasti Pak Suroto akan balik bertanya: "itu kan bukan budaya saya?" 

Saya sama sekali tidak bermaksud "mengusik" budaya Suku Dani, hanya saja saya mau berdiskusi bahwa budaya itu adalah cara atau pola hidup menyeluruh, yang kompleks, abstrak dan luas, yang senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

Salah satu komponen utama dari kebudayaan yang paling dinamis adalah cara atau teknik dan peralatan yang digunakan untuk memenuhi keperluan/kebutuhan hidup, terutama kebutuhan primer dan sekunder, yaitu: pangan, sandang dan papan.

Komponen seperti cara-cara dan peralatan yang digunakan untuk bercocok tanam, alat untuk berburu, tempat tinggal/tempat berlindung/perumahan, pakaian, alat transportasi, alat-alat produksi, dsb, terus mengalami berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan.

Tentu berbeda peralatan yang digunakan pada zaman batu neolitikum dan megalitikikum jika dibandingkan dengan zaman logam, perunggu dan besi. Demikian juga dengan peralatan yang digunakan pada zaman mileiniun seperti sekarang ini, sangat berbeda dengan peralatan yang digunakan pada masa 1.000 tahun lalu.

Tadinya orang tinggal di gua-gua, lalu beralih ke tenda, pondok-pondok kemudian ke rumah kayu hingga rumah batu. Demikian juga halnya dengan pakaiaan, yang tadinya tidak berpakaian, lalu memakai kulit kayu atau kulit hewan, hingga kemudian menggunakan pakaian yang terbuat dari bahan kapas, wol, sutra, rayon, dsb.

Seiring dengan berkembangnya pendidikan antara lain pengetahuan tentang kesehatan dan masuknya agama yang memberikan pencerahan tentang etika, dsb, mungkin hal itulah salah satu alasan mengapa kemudian generasi muda Suku Dani tidak lagi menggunakan koteka.

Jika koteka disamakan dengan batik, saya pikir kedua properti itu jelas berbeda dari  segi bahan dan fungsinya. Koteka adalah pakaian yang terbuat dari kulit labu air yang berfungsi untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Papua.

Sedangkan pakaian batik terbuat dari kain yang fungsinya tidak hanya terbatas untuk menutupi kemaluan pria saja tetapi untuk menutup seluruh tubuh, baik pria maupun wanita.

Jika koteka ingin didaftarkan ke UNESCO sebagai warisan dunia, saya pikir itu baik dan sah-sah saja. Tetapi mengajurkan generasi Suku Dani menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari sementara kita sendiri tidak mau menggunakannya dengan alasan karena itu bukan budaya kita, maka saya pikir itu sangat tidak adil.

(RS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun