Tadinya orang tinggal di gua-gua, lalu beralih ke tenda, pondok-pondok kemudian ke rumah kayu hingga rumah batu. Demikian juga halnya dengan pakaiaan, yang tadinya tidak berpakaian, lalu memakai kulit kayu atau kulit hewan, hingga kemudian menggunakan pakaian yang terbuat dari bahan kapas, wol, sutra, rayon, dsb.
Seiring dengan berkembangnya pendidikan antara lain pengetahuan tentang kesehatan dan masuknya agama yang memberikan pencerahan tentang etika, dsb, mungkin hal itulah salah satu alasan mengapa kemudian generasi muda Suku Dani tidak lagi menggunakan koteka.
Jika koteka disamakan dengan batik, saya pikir kedua properti itu jelas berbeda dari segi bahan dan fungsinya. Koteka adalah pakaian yang terbuat dari kulit labu air yang berfungsi untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Papua.
Sedangkan pakaian batik terbuat dari kain yang fungsinya tidak hanya terbatas untuk menutupi kemaluan pria saja tetapi untuk menutup seluruh tubuh, baik pria maupun wanita.
Jika koteka ingin didaftarkan ke UNESCO sebagai warisan dunia, saya pikir itu baik dan sah-sah saja. Tetapi mengajurkan generasi Suku Dani menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari sementara kita sendiri tidak mau menggunakannya dengan alasan karena itu bukan budaya kita, maka saya pikir itu sangat tidak adil.
(RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H