Tidak hanya "merokok membunuhmu", berutang juga bisa "membunuhmu"
Keenakan menyedot asap rokok dengan mulut, mengeluarkannya sebagian dari hidung dan menelan sebagian lagi dari tenggorokan lalu masuk ke paru-paru, bisa membuat seseorang keenakan, terlena lalu lupa diri. Semakin disedot semakin nikmat lalu terus diulang, kemudian menjadi ketagihan.
Sama halnya dengan berutang. Keenakan berutang dapat membuat kita terlena lalu lupa diri. Semakin nikmat, terus diulang, kemudian jadi ketagihan. Berutang ke mana saja, kepada teman, di warung, ke bank, kepada rentenir ke fintech, atau ke siapa saja dan di mana saja. Kemudian utang menggunung, lalu sengsara.
Tetapi tidak semua perokok cepat "mati". Beberapa bahkan umurnya lebih panjang daripada yang tidak merokok. Demikian halnya dengan pengutang. Tak semua pengutang hidupnya sengsara, sebagian bahkan lebih bahagia dari mereka yang tidak pernah berutang.
Apakah maksudnya tidak boleh berutang?
Tentu saja boleh dan sangat dibolehkan. Bahkan sebagian orang terpaksa harus berutang karena dipaksa oleh keadaan. Seperti untuk membayar biaya berobat, membayar uang kuliah, dan bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tetapi sekalipun keadaan sangat mendesak untuk berutang, tetaplah bersikap tenang dan jangan panik. Berutanglah kepada pengutang yang "sehat". Tidak kepada "lintah darat" penghisap darah. Dan juga dalam jumlah yang "masuk akal", sesuai dengan kemampuan bayar.Â
Kalau tidak ada lagi tempat berutang yang lebih sehat dan jumlahnya juga terpaksa harus melebihi kemampuan bayar? Berpikirlah sekali lagi. Dengan jernih dan jangan panik. Anda akan mendapatkan jawabannya. Sekali lagi, tenang dan jangan panik. Berdoalah, Anda akan mendapatkan pemberi utang terbaik.
Bagaimana dengan berutang di bank dan besar cicilan sesuai dengan kemampuan bayar, untuk investasi usaha atau membeli sebidang tanah? Mengapa tidak? Jika kita sudah memperhitungkannya dengan matang dan jujur, maka saya anjurkan: "berutanglah!". Itu baik untuk kesehatan keuanganmu.
Berutang dengan mengkredit rumah? mengapa tidak? Bukankah rumah itu kebutuhan primer sekaligus investasi? Tetapi tetap sesuaikan besar cicilan dengan kemampuan bayar. Jangan karena terburu nafsu ingin memiliki rumah sebesar istana negara, lalu membohongi diri? Karena tidak mampu bayar akhirnya disita pemberi kredit. Rugi besar, bukan?
Banyak orang yang sukses dengan berutang. Dan tentu saja mereka adalah pengutang cerdas. Mereka telah memperhitungkan bukan hanya keuntungannya saja, tetapi juga risiko terburuk jika semuanya berjalan tidak sesuai harapan. Mereka telah melakukan antisipasi ke arah itu. Misalnya dengan masuk asuransi.