Beberapa media arus utama nasional, diantaranya Kompas.com, Tempo.co dan Republika.co.id, memberitakan: KPK mempertimbangkan ancaman hukuman maksimal atau hukuman mati untuk terpidana kasus korupsi dua kali, Bupati Kudus M Tamzil.
"Ini sebenarnya sudah dibicarakan pada saat ekspos karena kalau sudah berulang kali (korupsi) bisa nanti tuntutannya sampai dengan hukuman mati," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, (Republika.co.id, 27/7/2019).
M Tamzil sudah 2 kali terjerat kasus korupsi. Yang pertama M Tamzil melakukan korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus tahun anggaran 2004. Saat itu dia menjabat sebagai Bupati Kudus untuk periode 2003-2008.
Akibat dari kejahatannya itu yang dibongkar pada pada 2014, kemudian pada 2015 M Tamzil divonis 22 bulan kurungan dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang.
Anehnya setelah bebas, M Tamzil masih dibolehkan undang-undang untuk mencalonkan diri kembali sebagai Bupati Kudus untuk periode 2018-2023. Dan anehnya lagi eks napi koruptor itu masih dipercaya masyarakat Kudus untuk memimpin daerah mereka. Terbukti M Tamzil berhasil mendapatkan suara terbanyak.
Kemudian Jumat (26/7/2019) M Tamzil kembali ditangkap KPK untuk kedua kalinya dalam kasus yang sama. Kali ini KPK menetapkan M Tamzil sebagai tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan di Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Kudus tahun anggaran 2019.
***
Pertanyaannya mungkinkah hukuman mati akan diterapkan kepada M Tamzil yang notabene adalah seorang koruptor?
Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz hal itu sangat dimungkinkan berdasarkan penjelasan pasal 2 ayat 2 Undang-undang Tipikor, seorang Residivis dapat dijatuhi hukuman maksimal sampai dengan hukuman mati. (Republika.co.id, 27/7/2019).
Jadi dalam hal ini M Tamzil dituntut hukuman mati bukan hanya karena korupsi, tetapi sebagai residivis yang melakukan tindak pidana yang sama lebih dari satu kali.
Pertanyaannya lagi, mungkinkah KPK berani atau punya nyali untuk menerapkan keputusan hukuman mati sesuai dengan penjelasan Undang-undang Tipikor tersebut?