Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Zonasi yang Tidak Berkeadilan terhadap Peserta Didik Berprestasi

8 Juli 2019   15:36 Diperbarui: 8 Juli 2019   15:59 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Zonasi merupakan rangkaian kebijakan yang utuh, terintegrasi, dan sistemik dari upaya kita melakukan restorasi di sektor pendidikan, khususnya di sistem persekolahan. Kebijakan ini bukan merupakan kebijakan yang terlepas dari rangkaian kebijakan sebelumnya maupun yang akan datang," disampaikan Mendikbud Muhadjir Effendy  dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (25/6/2018).

Kita harus mengakui bahwa niat dan tujuan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerapkan sistem zonasi khususnya dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sebenarnya adalah bagus. 

Dengan sistem zonasi diharapkan dapat memberikan pendidikan yang berkeadilan kepada semua peserta didik. Yaitu peserta didik dapat bersekolah di sekolah terdekat dengan domisilinya menurut jenjangnya. Tanpa harus ditentukan oleh nilai rata-rata nilai UN dan US dari peserta didik

Mendikbud Muhadjir Effendy menyebutkan bahwa sistem zonasi merupakan bentuk penyesuaian kebijakan dari sistem rayonisasi yang sudah diterapkan sejak dulu.

Hanya saja jika rayonisasi lebih memperhatikan pada capaian bidang akademik peserta didik, sedangkan sistem zonasi lebih menekankan pada jarak/radius antara rumah siswa dengan sekolah. Artinya siapa yang lebih dekat dengan sekolah lebih berhak mendapatkan layanan pendidikan dari sekolah itu.

Lebih detail lagi Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Sekjen Kemendikbud) Didik Suhardi dalam acara Lokakarya Peningkatan Motivasi dan Kerja Sama Sumber Daya Manusia, di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (13/10/2018), paling tidak ada 3 tujuan utama dari penerapan sistem zonasi ini, yaitu:

Yang pertama untuk mempercepat pelaksanaan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh Tanah Air terutama difokuskan di daerah yang belum memiliki sekolah berkualitas.

Yang kedua untuk menciptakan lebih banyak lagi sekolah favorit, dengan menerapkan program interferensi dalam peningkatan pendidikan.

Yang ketiga peningkatan kualitas guru dan sarana prasarana, perbaikan proses belajar mengajar, perbaikan kegiatan kesiswaan, dan lain-lain, melalui program intervensi

Sampai di sini kita sepakat bahwa niat dan tujuan Kemendikbud menerapkan sistem zonasi itu adalah baik. Tetapi juga harus diakui bahwa pelaksanaannya di lapangan banyak menuai pro-kontra. Bahkan tingkat aduan masyarakat mengenai program ini menduduki posisi teratas di Kemendikbud.

Mungkin sebagian masyarakat mengatakan bahwa hal itu terjadi karena sistem zonasi ini merupakan "barang baru" sehingga membuat sebagian masyarakat masih kaget dalam proses adaptasi. Benarkah demikian?

Saya pikir tidak demikian. Menurut pandangan saya dua kesalahan terbesar dalam pelaksanaan sistem zonasi itu adalah pelaksanaannya tidak dilakukan secara bertahap melainkan sekaligus dan kurang memperhatikan aspek mutu sekolah saat ini dan aspek peserta didik.

Yang pertama, dari aspek mutu sekolah saat ini. Dalam hal ini Kemendikbud harus mengakui dengan jujur bahwa hingga saat ini masih sangat banyak sekolah dari tingkat SD hingga SMA di negeri ini yang bahkan belum memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM yang terdiri 27 indikator diantaranya mensyaratkan: 

  1. Setiap sekolah SMP dan SMA harus memiliki 1 guru untuk setiap mata pelajaran dengan kualifikasi S-1/D-IV,
  2. Setiap sekolah harus memiliki ruang belajar tidak melebihi 32 peserta didik setiap rombel, lengkap dengan meja, kursi, papan tulis, dsb.
  3. Setiap sekolah harus memiliki ruang laboratorium IPA yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan praktek IPA   untuk demonstrasi dan eksperimen peserta didik;
  4. Setiap SMP/SMA memiliki buku teks dan minimal 200 judul buku dan buku referensi.

Jika kenyataan mutu sekolah masih banyak yang rendah, bagaimana Kemendikbud mengatakan mau meniadakan sekolah favorit? Bukankah salah satu indikator sekolah favorit itu adalah ketersediaan tenaga pendidik yang lengkap dan berkualitas serta fasilitas sarana dan prasarana yang lengkap pula?

Apakah sebuah sekolah itu dapat disebut favorit hanya karena standar kelulusannya tinggi? Dan bisakah sebuah sekolah memiliki standar kelulusan yang tinggi jika tidak memiliki tenaga pendidik yang berkualitas dan sarana prasarana yang lengkap?

Dari 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP), yaitu Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Penilaian, Standar Sarana dan Prasarana, Standar pengelolaan dan Standar Pembiayaan, saya pikir tidak dapat dipenuhi hanya dengan menerapkan sistem zonasi tadi. 

Seharusnya pemerintah pusat maupun daerah benar-benar bekerja sama melakukan intervensi untuk mempercepat pemenuhan ke-8 standar tersebut. Baru setelah itu sistem zonasi itu dilaksanakan, itu pun secara bertahap.

Yang kedua dari aspek peserta didik. Saya hanya ingin mengingatkan Kemendikbud bahwa peserta didik bukanlah kelinci percobaan yang dijadikan sebagai bahan eksperimen di "laboratorium coba-coba". Dalam dunia pendidikan peserta didik bukan objek tetapi subjek yang harus benar-benar dari praktek coba-coba.

Artinya peserta didik jangan menjadi korban dari sistem pendidikan coba-coba seperti kurikulum yang bergonta-ganti dan sistem zonasi yang pengkajiannya masih setengah matang.

Seharusnya peserta didik yang benar-benar serius belajar dengan menunjukkan prestasi akademik seperti nilai UN/US yang tinggi, seharusnya dikondisikan di sekolah yang berkualitas. Jangan hanya karena jarak domisili, peserta didik yang berprestasi tidak berhak mendapatkan sekolah yang berkualitas.

Pendidikan yang berkeadilan itu harus memperhatikan kedua aspek tadi. Aspek peserta didik dan aspek sekolah. Tidak hanya memperhatikan jarak domisili peserta didik tetapi juga harus memperhatikan capaian bidang akademik peserta didik.

(RS)

Sumber: Kompas.com, Kemendikbud.go.id, kumparan.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun