"Maaf pak Jokowi, mungkin Pak Jokowi dapat brefing yang kurang tepat. Jadi Rp 107 triliun itu 5% dari APBN kita, 0,8% dari GDP kita. Padahal Singapura itu anggaran pertahanan dari 30% APBN-nya, 3% dari GDP mereka," (Capres Prabowo Subianto dalam debat keempat)
Dalam debat keempat di Hotel Shangri-La, Jakarta (Sabtu, 30/3/2019), Prabowo dengan semangat berapi-api berusaha meyakinkan Jokowi dan pemirsa debat, bahwa pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat rapuh dan lemah. Tetapi semakin kuat dia berusaha meyakinkan, semakin banyak pula yang tidak yakin bahkan ada yang tertawa.
Hal tersebut dihubungkannya dengan anggaran pertahanan Indonesia yang hanya 5 persen dari APBN atau 0,8 persen dari GDP. Masih kalah jauh dari negara tetangga kecil Singapura yang memasang anggaran 30 persen dari APBN atau 3 persen dari GDP. Sementara menurut Prabowo Indonesia sama luasnya dengan Eropa.
Ditempat terpisah Cawapres Sandiaga Uno memastikan jika mereka kelak terpilih akan menaikkan anggaran pertahanan menjadi 1,5 persen dari GDP (detik.com, 31/3/2019). Artinya jika dibandingkan dari yang tadinya hanya 0,8 persen dari GDP, akan berubah dari 5 persen menjadi 9,4 persen atau yang tadinya hanya Rp 107 triliun akan berubah menjadi Rp 201,16 triliun.
Pertanyaannya adalah: jika nantinya Prabowo-Sandi menang dan anggaran pertahanan keamanan negara dinaikkan, siapakah yang diuntungkan?
Menurut saya yang diuntungkan adalah negara produsen atau eksportir senjata atau alutsista. Kenapa saya sebut demikian karena Prabowo selalu mengidentikkan pertahanan negara itu dengan persenjataan yang canggih dan modern.
Artinya menurut Prabowo, dengan memiliki peralatan pertahanan yang serba canggih dan modern maka pertahanan Indonesia akan kuat. Untuk itu Indonesia akan membelanjakan uangnya untuk mendapatkan alutsista tercanggih dari negara produsen senjata seperti Amerika Serikat, Rusia dan negara Eropa lainnya.
Sementara menurut Mayjen (purn) Johny Lumban Tobing, Seorang jenderal seharusnya tidak boleh mengatakan kalau pertahanan kita lemah karena itu termasuk membuka rahasia negara.
“Kita sampai dunia ini kiamat nggak akan mungkin mengejar Amerika, China, tapi kita tidak akan kalah dari mereka kalau sistem senjata sosial ini yang diperkuat. Apa itu? Semangat persatuan dan kesatuan. Nah persoalannya sekarang semangat itu sudah terbelah-belah,” kata Johny kepada niaga.asia.com (4/4/2019).
Artinya pertahanan keamanan negara yang paling canggih sebenarnya bukanlah alutsista yang serba modern tetapi semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang tangguh menghadapi segala ancaman dari luar maupun dari dalam.
Artinya negara eksportir senjata akan berlomba-lomba menciptakan senjata dan peralatan perang tercanggih seperti pesawat tempur, tank, rudal, kapal selam, bom nuklir, dsb, dan mereka juga akan berusaha agar senjata mereka laku di pasaran dunia.
Itu juga berarti jika semua negara-negara di dunia aman maka senjata mereka tidak akan laku dan pendapatan mereka dari sektor itu juga akan hilang. Untuk itu mereka akan menciptakan isu-isu ketegangan dan desas-desus perang agar negara berlomba-lomba membeli produksi senjata mereka.
Sebagai bahan perbandingan berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), sepuluh eskportir senjata terbesar di dunia secara berurutan dipegang oleh; Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Jerman, China, Inggris, Spanyol, Israel, Italia, dan Belanda.
Sedangkan sepuluh importir senjata terbesar di dunia justru didominasi oleh negara Asia dan Timur Tengah, secara berurutan antara lain; India, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, China, Australia, Aljazair (Algeria), Irak, Pakistan dan Indonesia.
Coba Anda bayangkan, Amerika serikat berhasil mendapatkan devisa dari penjualan senjata pada tahun 2017 sebesar Rp 3.260 triliun dengan memasok senjata ke 96 negara, sementara Rusia yang berada di urutan kedua berhasil mendapatkan Rp 552 triliun dengan memasok senjata ke 50 negara.
Sedangkan Arab Saudi yang berada pada ranking kedua sebagai importir senjata telah menghabiskan uangnya triliunan rupiah selama tahun 2013-2017 untuk membeli 78 pesawat tempur, 72 helikopter tempur dan 328 tank yang 98 persen berasal dari Amerika Serikat dan Eropa.
Konflik di Timur Tengah yang seakan tidak pernah berhenti telah membuat negara-negara di kawasan tersebut berlomba-lomba membelanjakan uangnya untuk membeli senjata. Padahal seandainya saja masyarakatnya bersatu dan tidak mau diadu domba atas dasar ideologi, agama, akidah, dsb maka uang sebanyak itu sudah dapat digunakan untuk membangun infrastruktur dan kesejahteraan rakyat.
Artinya apa?
Pertahanan keamanan negara yang sesungguhnya adalah persatuan dan kesatuan bangsa. Bukan berarti senjata itu tidak penting untuk pertahanan negara. Tetapi yang pasti negara-negara eksportir senjata akan berusaha untuk menciptakan chaos di negara seperti di Benua Asia dan Afrika dengan berbagai skenario. Mulai dari perang saudara hingga perang antar negara yang memerlukan senjata.
Dan ketika skenario itu berhasil maka mereka akan panen dari penjualan hasil senjata. Bahkan bukan tidak mungkin negara seperti Amerika Serikat memasok senjata kepada kedua negara yang bertikai sekaligus. Artinya mereka sedang diadu seperti boneka yang dibuat menjadi kelinci percobaan senjata buatan mereka.
Dan jika seandainya Indonesia menghabiskan uangnya ribuan triliunan rupiah untuk membeli senjata-senjata tercanggih buatan Amerika Serikat dan kemudian Indonesia berperang dengan Malaysia. Sementara Malaysia juga melakukan pembelian senjata yang lebih canggih dari Amerika Serikat, siapa yang akan menang dan siapakah yang akan diuntungkan?
(RS)
Sumber: Detik.com, niaga.asia.com, Sindonews.com, suar.grid.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H