***
Benarkah hal yang sama seperti pengalaman pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016 tersebut akan terulang dalam Pilpres Indonesia tahun 2019?
Jawabannya adalah: bisa "ya" dan bisa "tidak". Mengapa saya sebut demikian?
Alasannya sangat sederhana. Bisa "ya" jika TKN Jokowi-Ma'aruf, relawan dan simpatisannya tidak bergerak cepat untuk berbenah. Dalam waktu yang hanya tinggal sedikit ini, bisa saja Jokowi mengalami penurunan elektabilitas akibat pengaruh media sosial.
Tetapi bisa juga "tidak" karena budaya dan jumlah pengguna media sosial Facebook dan Twitter antara Amerika Serikat dengan Indonesia jauh berbeda.
Berdasarkan data dari The Next Web (24/4/2018), pengguna Facebook di Indonesia hanya 140 juta pengguna, masih kalah jauh dari Amerika Serikat yang memiliki 240 juta pengguna. Demikian juga dengan pengguna Twitter di Indonesia masih kalah jauh dengan Amerika Serikat, yaitu: 56 juta berbanding 120 juta pengguna.
Dan satu hal yang sangat berbeda adalah, pengguna media sosial di Amerika Serikat jauh lebih rasional dan realistis. Mereka cenderung tidak mempercayai dan tidak suka menyebarkan hoaks. Mereka lebih suka berbicara data dan fakta daripada mengumbar kebencian dan mempercayai fitnah.
Disamping itu mereka jauh lebih mengutamakan kepentingan dan keutuhan bangsa mereka daripada larut dalam kepentingan emosi sesaat politik dukung-mendukung.
Berbeda halnya dengan di Indonesia. Pengguna media sosial masih cenderung suka menyebarkan hoaks dan mempercayainya sebagai fakta sekalipun sebenarnya mereka tidak meyakininya.Â
Dan satu hal yang paling buruk adalah, banyak relawan atau simpatisan Capres-cawapres yang lebih mencintai kandidatnya daripada bangsanya. Inilah yang sering dikuatirkan dapat menimbulkan kekacauan termasuk di media sosial.
(RS)