Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

[Cerita Natal] Robohnya Pohon Natal Kami

9 Desember 2018   15:38 Diperbarui: 10 Desember 2018   23:01 2260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Sebuah Renungan dari Jl. Sisingamangaraja, Gg. Sumatera-Simpang Limun, Medan]

Sekitar tahun 1997, ketika masih kuliah di Pendidikan Teknologi Kimia Industri (PTKI) Medan, saya tinggal dirumah seorang nenek janda yang telah lama ditinggal pergi oleh suaminya. Tepatnya di Jl. Sisingamangaraja, Gg. Sumatera, Simpang Limun, Medan.

Di Minggu pertama bulan Desember, sambil menunjuk ke sebuah kardus tua di atas lemari kayu yang umurnya pasti lebih tua dari kardus di atasnya, sang nenek berkata: "Mari bantu saya, tolong turunkan kardus itu". 

Tanpa bertanya dan dengan sedikit rasa penasaran saya langsung berusaha meraih kardus tersebut. Saya menggunakan sebuah kursi plastik sebagai tumpuan kaki agar lebih tinggi, dan sayapun berhasil menurunkan benda dimaksud. 

Kardus itu telah usang dan berdebu dan pada beberapa bagian tertentu sudah bolong karena sudah lapuk, sehingga isinya sudah kelihatan. "Pohon natal sintetis,"kataku spontan.

(Photo : harianbhirawa.com)
(Photo : harianbhirawa.com)
Tanpa dikomando, saya langsung membawanya ke teras depan, menyingkirkan debunya terlebih dahulu lalu membuka tali nilon pengikat kardus tersebut. Dan ternyata benar dugaan saya. Dihadapan saya sekarang ada satu set pohon natal sintetis yang sudah tua yang seolah-olah sedang berteriak: "mohon rangkai saya, aku ingin hidup!".

"Tolong pasang" kata nenek. Tanpa menjawab saya mulai memisah-misahkannya dengan mengambil bagian batang dan kaki terlebih dahulu. "Opss, kakinya sudah patah ni, pung, tak bisa lagi berdiri," kataku sedikit pesimis. "Coba cari akal," sahut nenek yang saya panggil oppung. 

Sambil berpikir, saya memperhatikan sekeliling teras rumah. Tiba-tiba mata saya tertuju ke sebuah pot plastik bunga hidup yang bunganya sudah mati dan kering. Mungkin akar-akarnya sudah tidak sanggup lagi mengisap air dan nutrisi dari dalam tanah pot, dan akhirnya diapun mati kekeringan. Bukan karena tidak pernah disiram.

"Boleh nih dimanfaatkan", kataku dalam hati. Saya mengangkat pot tesebut ke dekat tumpukan daun-daun plastik. "Lumayan berat, pasti kokoh", pikirku sambil menanam bagian pangkal pohon sintetis tersebut ke dalam pot berisi tanah. Kemudian tanahnya saya tekan-tekan dengan sebuah broti untuk memadatkan tanahnya.

Setelah berdiri kokoh, saya lanjutkan dengan merangkai daun-daunnya. Semuanya tepat selesai ketika nenek pulang dari pasar berbelanja. "Mantap" kata nenek tertawa melihat pohon natal tua berdiri kokoh di dalam pot berisi tanah organik. Sayapun ikut tertawa puas melihat hasil kreasiku. 

Pohon natal itu kelihatan indah. Sejuk melahirkan sejuta makna. Tetapi saya tidak juga habis pikir, mengapa pohon Cemara itu menjadi identik dengan Natal?

Saya memindahkannya ke sudut ruang tamu dan meletakkannya disebuah meja kecil persis di salah satu sudut ruangan itu disamping meja televisi.

"Ada yang kertinggalan," kata nenek sambil menunjukkan satu plastik penuh hiasan natal. "Pasang ini pada daun-daunnya, agar lebih cantik" kata nenek sambil memperlihatkan bintang plastik, kapas sebagi pengganti salju, lonceng mainan, bola-bola kecil sebagai pengganti buah cemara, lambu kelap-kelip dan bunga-bunga lain yang saya pikir tidak relevan dengan pohon natal itu sendiri.

Dan sekali lagi tanpa membantah, saya memasang semua aksesoris tersebut memenuhi pohon natal yang tadinya kokoh itu. Menurut saya hiasan-hiasan itu bukannya memperindah, malah menutupi keindahan dan orisinilitas pohon natal buatan itu. 

Tapi ternyata bukan hanya mengurangi keidahannya, tiba-tiba pohon natal tersebut "tumbang". Karena aksesorisnya yang terlalu banyak dan berat, rupanya tanah di dalam pot tidak cukup kuat untuk menopang seluruh beban di atasnya dan akhirnya pohon natal itupun "roboh".

***

Saudara-saudariku yang Budiman!

Bukankah hal tesebut sering terjadi dalam kehidupan kita? Dalam menyambut dan merayakan natal, kita sering terlalu sibuk mengurusi aksesoris-aksesoris seperti baju baru, sepatu baru, mempersiapkan kue-kue, minuman, makanan, dsb.

Karena terlalu fokus mengurusi hal-hal tersebut, tanpa kita sadari akhirnya kita pun bisa 'tumbang' dan kehilangan makna natal yang sesungguhnya. Bukankah natal itu identik dengan "kesederhanaan"?

Tidak salah jika kita membelikan baju baru, sepatu baru, mempersiapkan makanan dan minuman, dsb, sebagai bentuk ucapan rasa syukur kepada Tuhan. Tetapi semuanya itu bukan keharusan dan juga tidak boleh dilakukan dengan berlebihan.

Jika kita mempunyai berkat lebih maka sebaiknya kita berbagi dengan mereka yang tidak punya, disana akan kita temukan makna natal yang sesungguhnya.

Natal itu jauh dari kemewahan, hura-hura dan pesta pora. Mari jauhkan semuanya hal-hal yang tidak terlalu penting dan mari, sambutlah Natal dan Tahun Baru dengan penuh kesederhanaan.

Selamat menjelang Hari Natal & Tahun Baru bagi semua yang merayakannya.

(RS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun