"Semuanya seperti mimpi. Tapi itu benar-benar nyata dan saya merasa sangat bangga dan bahagia", kata pak Kirno.Â
"Itulah kebahagiaan tertinggi saya sebagai guru. Ketika melihat anak didik saya berhasil. Entahlah mereka mengingat saya atau tidak tetapi mendengar mereka berhasil, itulah kebahagiaan tertinggi bagi saya sebagai guru", kata beliau menambahkan.
"Ketika bapak ke Jakarta, apakah bapak menghubungi beliau?", kata saya.
"Oh, tidak. Saya takut merepotkan dia. Pokoknya jangan gara-gara saya aktivitas dia terganggu. Mendengar dan melihat dia berhasil, itu sudah lebih dari segalanya. Saya tidak berharap lain", kata beliau dengan meyakinkan.
Lain lagi dengan pengalaman Pak Edy. Suatu kali ketika berada di Bandara Tanjungpinang, seseorang berseragam bea cukai menyapa ke arah beliau. Merasa tidak yakin, Pak Edy menoleh ke belakang. Tetapi orang tersebut mendekat sambil menyelam dan mencium tangan Pak Edy.
"Pak Edy, kan? Saya anak murid bapak semasa SMP dulu", katanya menjelaskan.
"Maaf saya tak ingat wajah kamu lagi, sudah banyak berubah. Apalagi sudah memakai seragam begini? Sama sekali saya tidak kenal lagi", kata pak Edy sambil berusaha mengingat-ingat namanya tetapi tak berhasil.
"Ya tentu saja, pak. Wajah saya pastilah ada perubahan dari SMP dulu. Bapak ada kegiatan lagi disini?", katanya kepada Pak Edy.
"Oh, tidak lagi. Kebetulan semuanya sudah selesai tadi", kata Pak Edy.
"Kalau bapak tidak ada kegiatan lagi, mari ikut saya", katanya sambil menuju sebuah toko jam tangan.
"Pilihlah pak, yang mana bapak suka", katanya sambil menunjuk ke deretan jam tangan yang tersusun rapi di etalase.