Berdasarkan survei yang dilakukan Kantar TNS (Taylor Nelson Sofres-market research and market information group) dalam riset Connected Life 2017, 61 persen konsumen Indonesia dengan senang hati mempercayai informasi yang mereka peroleh. (Seperti tertulis dalam siaran pers Kantar TNS yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu 19/10/2017).
Bagaimana dengan sekarang setelah satu tahun berlalu, adakah angka tersebut menurun atau malah naik?
Baru saja saya berbincang dengan seorang anggota Polri. Beliau menceritakan bagaimana polisi di seluruh Indonesia, dari pangkat terendah hingga tertinggi, semuanya bersinergi untuk memberantas peredaran hoaks di media berita online dan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan messenger WhatsApp.
Hal itu mereka lakukan dalam rangka memerangi perkembangan hoaks yang semakin hari semakin marak. Semakin banyak dari segi kuantitas dan semakin membahayakan dari segi kualitas.
"Berbagai macam upaya sudah, sedang dan terus dilakukan. Mulai dari kampanye 'stop membuat dan membagikan hoaks' hingga memantau konten-konten di media berita daring dan media sosial", kata beliau menjelaskan.
"Facebook, Twitter dan Instagram adalah media yang paling banyak digunakan untuk membagikan tautan berita dan banyak diantara berita itu merupakan hoaks. Untuk itu kita harus terus memantau setiap saat. Lalu konten dikelompokkan menjadi dua bagian, konten positif dan negatif", kata beliau menambahkan.
"Saya sangat setuju dan sangat mengapresiasi langkah-langkah yang diambil Polri. Saat inj pembuat dan penyebaran hoaks sudah semakin merajalela. Mereka harus dihentikan", kata saya bersemangat.
Mengapa sebagian besar warga Indonesia suka mengkonsumsi dan membagikan hoaks?
Angka 61 persen seperti yang disebutkan pada siaran pers Kantar TNS, bukanlah angka yang main-main. Sebutlah jumlah pengguna aktif internet di Indonesia 100 juta saja, maka 61 juta diantaranya dengan senang hati mempercayai berita yang diterimanya tanpa melakukan cek and balance terlebih dahulu, sangat mengkhawatirkan bukan?
Bagaimana bisa sebanyak itu menerima berita dengan senang hati tanpa menguji kebenarannya terlebih dahulu?
Semuanya itu tidak terlepas dari perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih suka gosip. Mereka dengan senang hati menerima gosip sebagai sesuatu yang asyik untuk dinikmati, lalu membagikannya ke orang lain dianggap sebagai sesuatu hal yang lumrah dilakukan. "Untuk lucu-lucuan saja," kata sebagian orang.
Di era teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat seperti sekarang ini, penyebaran gosip itu akan semakin mudah, puluhan bahkan ratusan kali lipat.Â
Seperti diketahui, gosip adalah obrolan atau cerita negatif tentang seseorang. Jika hal seperti itu bukan dianggap tabu tetapi malah dianggap lucu, maka hoaks pun akan dianggap sebagai sesuatu yang lucu dan tidak berbahaya sekalipun sudah jelas-jelas berisi berita bohong dan ujaran kebencian.
Kemudian hoaks akan lebih sensitif jika menyangkut isu SARA terlebih masalah agama dan akan semakin laris menjelang Pilkada, Pilpres dan Pemilu.
Ketika semuanya telah dipolitisasi khususnya mengenai agama, maka semuanya akan terlihat abu-abu. Politik yang memperalat agama dan agama yang dipolitisasi oleh elit politik akan membuat masyarakat kebingungan bahkan terpecah.
Jika sudah demikian halnya maka akan sangat sukar untuk diberantas. Yang bisa mengatasinya hanya elit politik yang seharusnya sadar diri dan stop membuat pernyataan hoaks.
Menganjurkan masyarakat kita agar lebih kritis terhadap sumber berita dan stop mempercayai dan membagikan hoaks nampaknya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Hal yang sangat sering terjadi,sikap kecintaan terhadap figur tertentu dan kebencian yang berlebihan terhadap figur atau kelompok yang berseberangan dengannya akan rentan disusupi keinginan membuat dan menyebarkan hoaks.
(RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H