Semuanya itu tidak terlepas dari perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih suka gosip. Mereka dengan senang hati menerima gosip sebagai sesuatu yang asyik untuk dinikmati, lalu membagikannya ke orang lain dianggap sebagai sesuatu hal yang lumrah dilakukan. "Untuk lucu-lucuan saja," kata sebagian orang.
Di era teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat seperti sekarang ini, penyebaran gosip itu akan semakin mudah, puluhan bahkan ratusan kali lipat.Â
Seperti diketahui, gosip adalah obrolan atau cerita negatif tentang seseorang. Jika hal seperti itu bukan dianggap tabu tetapi malah dianggap lucu, maka hoaks pun akan dianggap sebagai sesuatu yang lucu dan tidak berbahaya sekalipun sudah jelas-jelas berisi berita bohong dan ujaran kebencian.
Kemudian hoaks akan lebih sensitif jika menyangkut isu SARA terlebih masalah agama dan akan semakin laris menjelang Pilkada, Pilpres dan Pemilu.
Ketika semuanya telah dipolitisasi khususnya mengenai agama, maka semuanya akan terlihat abu-abu. Politik yang memperalat agama dan agama yang dipolitisasi oleh elit politik akan membuat masyarakat kebingungan bahkan terpecah.
Jika sudah demikian halnya maka akan sangat sukar untuk diberantas. Yang bisa mengatasinya hanya elit politik yang seharusnya sadar diri dan stop membuat pernyataan hoaks.
Menganjurkan masyarakat kita agar lebih kritis terhadap sumber berita dan stop mempercayai dan membagikan hoaks nampaknya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Hal yang sangat sering terjadi,sikap kecintaan terhadap figur tertentu dan kebencian yang berlebihan terhadap figur atau kelompok yang berseberangan dengannya akan rentan disusupi keinginan membuat dan menyebarkan hoaks.
(RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H