Ada persamaan antara Barack Obama dan SBY, yaitu sama-sama pernah menjabat sebagai presiden selama 2 periode.
Jika Obama pernah menjabat Presiden Amerika Serikat selama 8 tahun maka SBY juga pernah menjabat Presiden Republik Indonesia selama 10 tahun. SBY menjabat 2 tahun lebih lama dari Obama walaupun hitungannya sama-sama 2 periode.
Tetapi ada perbedaan yang sangat mencolok antara Obama dan SBY setelah tidak lagi menjabat. Dan hal ini kemudian menjadi kunci pembeda bagaimana mereka dihormati dan menikmati masa pensiunnya.
Setelah Obama digantikan Donald Trump sejak Januari 2017, sejak itu pula beliau tidak lagi terlibat dalam politik praktis. Beliau melepaskan semua beban politiknya dengan penuh keikhlasan dan kemudian menjadi guru bangsa yang bijaksana.
Beliau juga tak pernah kedengaran mengkritik presiden yang menggantikannya. Sekali pun banyak pihak menganggap Donald Trump pemimpin yang kontroversial dan walaupun tak sedikit yang membanding-bandingkan gaya kepemimpinan mereka, tetapi Obama tak mau terpancing.
Hal itulah yang membuat Obama tetap dihormati para pendukung dan lawan politiknya, karena beliau membuat dirinya menjadi milik semua masyarakat untuk menjaga reputasinya.
Berbeda halnya dengan SBY. Setelah tidak lagi menjabat sejak Oktober 2014, beliau kembali terjun ke dalam politik praktis sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, partai yang didirikan dan dibesarkannya itu.
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai, beliau tak jarang mengkritik kebijakan presiden yang menggantikannya, yaitu Jokowi. Dan akhirnya terjadi berbalas pantun antara pendukung kedua belah pihak.
Akibatnya masa pemerintahan SBY pun dibanding-bandingkan dengan masa pemerintahan Jokowi dari semua aspek dan tak jarang pembanding-bandingan itu membuat gaduh.
Dan SBY pun dijuluki macam-macam oleh orang-orang yang tidak menyukainya, seperti: menganggapnya terkena post power sindrome, "bapperlah", tukang curhatlah, dsb.
Sebenarnya hal ini sungguh tak beretika mengatai presiden yang tidak menjabat lagi seperti itu, tetapi apa daya seperti itulah fakta yang terjadi di lapangan.
Apalagi ketika SBY berusaha terlibat secara praktis dalam pencalonan putranya Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Gubernur DKI Jakarta? Berbagai macam sindiran pun dialamatkan kepada SBY yang seharusnya dihormati sebagai Presiden RI yang ke-6.
Dan berita terbaru yang sedang hangat adalah cerita tentang SBY yang mutung pada acara kampanye damai di Monas.
SBY kecewa karena parpol lain membawa atribut kampanye. Sedangkan Demokrat hanya membawa atribut yang disediakan KPU. SBY pun meninggalkan acara dan menitip pesan kepada Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan di lokasi.
Seharusnya SBY tak perlu kecewa dan seharusnya SBY tak perlu mutung. Seharusnya SBY tak perlu hadir dalam acara tersebut sebagai Ketua Umum Partai, saya pikir itu merendahkan diri beliau sebagai seorang yang telah pernah menjabat sebagai presiden.
Kalaupun beliau hadir, akan lebih terhormat jika beliau datang sebagai negarawan. Sebagai undangan KPU yang diharapkan dapat memberikan kesejukan karena pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-6.
SBY tidak boleh dan tidak seharusnya menjadi bahan olok-olokan oleh kelompok tertentu. Beliau adalah Presiden Indonesia yang ke-6 dan sepantasnya beliau dihormati.
Semoga ini menjadi pembelajaran bagi presiden Indonesia selanjutnya. Jika suatu saat nanti Jokowi tidak menjabat lagi sebagai presiden, beliau harus melepaskan diri dari politik praktis dengan ikhlas dan tidak boleh mengkritik presiden setelahnya.
Tidak ada salahnya kita meniru hal-hal yang baik dari negara Paman Sam jika hal itu memang layak untuk ditiru.
(RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H