"Bukannya maksud angka itu, kalau pada Pilpres lalu Prabowo dapat nomor urut 1 berarti kalah 1 kali, dan sekarang dapat nomor urut 2 berarti akan kalah untuk kedua kalinya?", tanyaku kalem.
"Oh, bukan... bukan... Bukan itu maksudnya", kata teman saya ini tak terima jagoannya disebut kalah.
"Tapi... Iya juga ya!", kata teman saya seakan-akan tiba-tiba tersadar dari khayalannya. "Bisa ditafsirkan begitu juga, ya?", kata dia seakan-akan kehilangan sukacitanya.
"Kedua angka itu: 1 dan 2, kan sama baiknya. Tergantung bagaimana kita menafsirkannya sesuai dengan selera kita. Misalnya: 'Kalau bisa nomor 1 untuk apa nomor 2?' 'Kalau bisa 2 periode untuk apa hanya 1 periode?' 'Dapat angka 1 berarti kalah 1 kali, dapat angka 2 berarti kalah kedua kali', kan macam-macam, kan?, tanyaku meyakinkan.
"Betul... betul... betul", kata dia secara tak sadar menirukan gaya berbicara Upin-Ipin.
"Saya pikir, nomor urut itu tidak menentukanlah. Yang menentukan itu adalah bagaimana masing-masing tim sukses berlomba-lomba mensosialisasikan program Capres-Cawapres jagoannya dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Jauhi kampanye negatif yang mengandung isu SARA dan bertarunglah secara jentlemen", kata saya dengan suara agak meninggi.
"Kalau nomor urut itu yang menentukan menang-kalah, untuk apa diadakan lagi Pilpres?", tanyaku beretorika.
"Dan satu lagi, ini hal yang paling penting dan menentukan...", kataku sambil menarik nafas agak panjang.
"Apa itu?", tanyanya penasaran.
"Garis tangan", kataku sambil melebarkan dan memperhatikan telapak tangan saya apakah ada kemungkinan menjadi presiden ke-10.
"Bagaimana pun hebatnya pretasi Capres-Cawapresnya, dan bagaimana pun tim suksesnya berusaha, bekerja jungkir-balik siang dan malam, tetapi kalau bukan garis tangan mereka untuk menjabat, jangan harap mereka bisa menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia berikutnya", kataku dengan bersemangat menirukan gaya berbicara komedian Cak Lontong.