Nek Ratna adalah seorang perempuan yang sangat luar biasa. Selain berhati mulia, Nek Ratna juga suka menabung, tidak sombong dan suka menolong siapa saja.
Cuma satu kekurangan Nek Ratna. Mungkin karena faktor usia, Nek Ratna sudah sering lupa ingatan alias pikun. Nek Ratna susah mengingat kata-kata yang baru saja diucapkannya. Hal itu tidak jarang membuat Nek Ratna sering dicibir orang.
"Sudahlah Nek, usah sok-sok ngurusin negara segalalah. Entar banyak dosa", kata seorang anak muda mengingatkan ketika Nek Ratna sibuk ikut-ikutan ngurusi negara. "Ingat usia Nek, perbanyak amal kurangi maksiat", kata seorang anak muda yang lain menambahi.
Mendengar hal tersebut Nek Ratna tentu saja sangat marah. "Maksiat katamu? Kurang ajar kamu. Ngurusin negara itu pahala, tahu?", kata Nek Ratna meradang. "Negara kita mau tenggelam dan saya mau menyelamatkan, itu dibilang maksiat?", kata Nek Ratna tak dapat menahan geram.
Suatu hari seorang anak muda mendatangi Nek Ratna. Wajahnya kelihatan keriting tak bersemangat seperti rambutnya yang awut-awutan tak pernah disisir. Melihat itu Nek Ratna langsung iba hatinya. "Ada apa, cu? Nama kamu siapa dan ada yang bisa saya bantu?", kata Nek Ratna sambil menawarkan satu gelas air putih.
"Nama saya Sirabun, Nek. Saya mempunyai masalah yang sangat besar. Dan di dunia ini, saya yakin. Hanya neneklah satu-satunya yang bisa menolong saya", kata anak muda tersebut memelas.
"Oh begitu? Coba ceritakan masalahmu dengan detail, biar nenek tahu kronologisnya", kata Nek Ratna bukan main bangga ketika mendengar kata-kata pujian dari Sirabun.
Sirabun pun memperbaiki duduknya dan mulai bercerita. "Begini, Nek. Saya mempunyai sejumlah uang di Bank BINI yang di transfer dari Bank Dunia. Uang itu dikumpulkan oleh kawan-kawan saya dari beberapa negara yang tergerak hatinya untuk membantu kampung saya yang masih tertinggal"
"Oh, hebat dong, cu. Emang jumlah uangnya berapa?", kata Nek Ratna tak sabaran. "23 T, Nek", jawab Sirabun. Mendengar angka sebesar itu Nek Ratna terperanjat dan hampir saja terjatuh dari tempat duduknya.
"Unag 23 T? Itu duit semua atau campur daun? Jadi mengapa mukamu murung begitu? Semangat dong, semangat!", kata Nek Ratna berbinar-binar.
"Itulah masalahnya, Nek. Sudah 3 tahun uang itu tidak bisa dicairkan. Bank Sentral memblokirnya", kata Sirabun tak bisa menahan tangis.
"Kurang ajar. Ini pasti ulah pemerintah. Pasti pemerintah yang memblokirnya. Mungkin digunakan untuk mencicil utang. Itulah makanya saya selalu meradang" kata Nek Ratna marah-marah.
"Tetapi tenang, cu. Saya akan membantumu. Saya akan langsung menelepon ke Bank Dunia melaporkan kejahatan ini", kata Nek Ratna dengan nada tinggi.
"Apa? Nenek bisa telpon langsung ke Bank Dunia? Apa mereka mau mengangkat teleponnya nanti? Apa mereka kenal dengan nenek?", kata Sirabun seakan-akan tidak percaya kata-kata Nek Ratna yang barusan didengarnya.
"Hahahaha... Kamu pikir nenek ini orang sembarangan? Nenek punya chanel dimana-mana. Direktur Bank Dunia itu teman saya waktu kecil dulu. Ini lagi saya hubungi", kata Nek Ratna sambil berusaha mendekatkan telepon selulernya ke telinganya.
"Halo, selamat siang, dengan Bank Dunia, ada yang bisa kami bantu", kata costumer service diseberang.
"Halo, selamat siang, tolong sambungkan ke Direktur Utama", kata Nek Ratna.
"Maaf ini dengan siapa?"
"Dengan Nek Ratna"
"Oh Nek Ratna, apa kabar Nek? Ditunggu ya, Nek", sahut costumer service dengan ramah dan langsung menyambungkan.
Setelah tersambung Nek Ratna berbicara panjang lebar kurang lebih 1 jam dengan direktur Bank Dunia. Mereka berbicara dalam bahasa Indonesia yang fasih sambil sekali-sekali diselingi candaan layaknya sahabat akrab yang sudah lama tidak ketemu.
Setelah menutup teleponnya, Nek Ratna menjelaskan kepada Sirabun bahwa bahwa uang 23 T itu memang benar ada dan bukan tipu-tipu. "Sudah ditransfer Bank Dunia ke Bank BINI. Tugas kamu adalah mengurus surat-surat ke Bank Sentral dan menunjukkan surat-surat tersebut ke Bank BINI", dan langsung cair.
"Saya akan langsung menghadap Menteri Keuangan sekarang, agar dia bantu. Agar jangan terbiasa mereka itu", kata Nek Ratna menunjukkan wajah serius.
Tetapi tiba-tiba Sirabun jadi curiga. "Tunggu dulu Nek, tadi yang nenek telpon itu Direktur Bank Dunia, ya? Koq dia bisa berbahasa Indonesia?", tanya Sirabun.
"Ya, iyalah. Tadi kan sudah saya bilang, dia itu orang Pongok, masih satu kampung dengan saya, masa kamu tak percaya, sih", kata nenek Nek Ratna dengan wajah senyum.
"Setahu saya Direktur Bank Dunia itu orang luar negeri, Nek. Dia itu tidak bisa berbahasa Indonesia, bahasa Inggris dia bisa", kata Sirabun tak yakin. "Yang nenek hubungi tadi Bank Dunia mana, yang kantor pusatnya dimana maksud saya?", tanya Sirabun.
"Itu tadi Direktur Bank Dunia Maya, kantor pusatnya di Gunung Kawi, kamu cerewet amat sih!", kata Nek Ratna mulai marah.
"Nek... Nek..., Saya pikir tadi nenek bisa membantu rupanya malah tambah kacau. Maksud saya Bank Dunia benaran yang di Amrik, bukan Bank Dunia Maya yang di Jonggol", kata Sirabun kesal sambil berlalu.
(RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H