Dua minggu yang lalu mereka itu masih merasa dirinya singa yang suka makan daging. Kini telah menjadi daging yang hendak dimakan singa. Mereka telah hancur kekuasaannya oleh tentara Sekutu dan Rusia.
Ya, sic transit glofia mundi! Di dunia tiada yang tetap, tiada yang kekal, tiada yang abadi. Segala-gala serba berubah, serba bergerak, serba tumbuh dan mati. Yang abadi hanya yang Abadi, yang tetap hanya yang Tetap, yang kekal hanya yang Kekal. (Dari Novel Atheis, Achdiat Kartamihardja)
Setiap kali aku melihatnya, tak sedikit pun terbersit dibenakku menyumpahinya agar dia berubah menjadi seonggok daging yang siap dimakan singa. Tak sedikit pun terpikir olehku. Saya hanya berharap agar di masa kejayaannya ini dia sadar dan jangan terus-terusan merasa dirinya singa yang suka makan daging.
Saya tahu bahwa dia memiliki dua hal untuk diakui menjadi raja rimba. "Jabatan" dan "uang". Barangkali itulah yang membuat dirinya seakan-akan memiliki surai lebat mengitari seluruh wajahnya. Seperti singa jantan yang gagah perkasa sekalian sombong. Selalu mengintai mangsanya dari jauh. Mengamati tumpukan-tumpukan daging rusa merah segar yang siap disergap.
Memang surai juga jenggot pada manusia umumnya menjadi satu kebanggaan dan identitas, di samping menangkal berbagai penyakit. Tetapi surai itu justru telah dimanfaatkanya untuk mendatangkan berbagai macam penyakit untuk dirinya.Â
Penyakit iri dan kesombongan menempel erat di surai-surai itu. Dan nafsunya untuk memangsa siapa pun yang dianggapnya onggokan daging segar, semakin hari semakin menjadi.
Hanya saja saya menjadi teringat akan kata-kata bijak Achdiat Kartamihardja dalam novelnya, ATHEIS. "... Di dunia tiada yang tetap, tiada yang kekal, tiada yang abadi. Segala-gala serba berubah, serba bergerak, serba tumbuh dan mati. Yang abadi hanya yang Abadi, yang tetap hanya yang Tetap, yang kekal hanya yang Kekal..."
Pernahkah dia membaca novel ATHEIS? Atau setidaknya, pernahkah nuraninya mengingatkannya agar insaf? Atau pernahkah dia membaca Kitab Pengkhotbah dari Salomo dalam Alkitab Perjanjian Lama?
Sebuah Kitab yang sering ditentengnya ketika dia pergi ke gereja untuk menunjukkan surainya. Di sini aku mengutipnya sekedar mengingatkan. Bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk diriku. Berikut Pengkhotbah 3:1-11 (TB):
Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.
Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;
ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;
ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.
Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?
Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
Segala sesuatu ada masanya, segala sesuatu ada waktunya. Segala sesuatu akan berubah. Segala sesuatu pasti berubah. Tidak ada yang abadi, tidak ada yang kekal dan tidak ada yang tetap. Yang abadi hanya yang abadi, yang kekal hanya yang kekal dan yang tetap hanya yang tetap.
Jika suatu saat kamu berubah dari seekor singa jantan menjadi seonggok daging, itu bukan karena aku menyumpahimu. Jika suatu saat surai-suraimu berguguran dan jatuh, dan gigi-gigimu tanggal satu persatu, itu bukan karena aku mendoakannya seperti itu.
Semuanya hanya karena ketidak-abadian, semuanya hanya karena ketidak-kekalan, semuanya hanya karena ketidak-tetapan. Hanya sayangnya, mengapa kamu tidak menyadarinya dari awal.Â
Seandainya saja kamu tak berlaku seperti singa, di hari kematianmu tak akan sepi dari pelayat, di hari penguburan mu tak akan sepi dari pengantar.Â
Tetapi lihatlah, seandainya kamu bisa melihat, hampir saja mereka mencampakkan jenazahmu karena mereka menganggapnya bangkai singa, dengan surainya yang sudah dikerumuni belatung.
(Pancur-Lingga Utara, Senin 17/9/2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H