Manusia itu sifatnya tidak konsekuen dan inkonsisten. Sedangkan politik itu lahir dari pemikiran manusia yang tidak konsekuen dan inkonsisten. Kemudian politik itu tumbuh dan berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang dinamis.Â
Itulah mengapa politik itu tidak konsekuen dan inkonsisten karena diciptakan dan dikendalikan oleh manusia yang tidak konsekuen dan inkonsisten.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kon-se-ku-en /konsekuén/ (adjektiva) berarti: sesuai dengan apa yang telah dikatakan atau diperbuat; berwatak teguh, tidak menyimpang dari apa yang sudah diputuskan. Sedangkan kon-sis-ten /konsistén/ (adjektiva) berarti: 1 tetap (tidak berubah-ubah); taat asas; ajek; 2 selaras; sesuai.
Menurut teori klasik Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Politik berhubungan dengan segala proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan atau "polisi" yang ditujukan untuk kebaikan bersama. Dalam hal ini, politik itu tidak ubahnya seperti demokrasi, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pada perkembangan selanjutnya, politik bergeser ke arah bagaimana untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Maka politik pun berubah menjadi seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan, awalnya dengan cara-cara yang bermartabat hingga bergeser dengan menghalalkan segala cara, dengan cara yang konstitusional hingga yang inkonstitusional.
Disinilah kemudian teori dan praktek mempengaruhi orang lain terus diolah, dipoles, direkayasa, dsb, dengan berbagai macam cara, dari hal-hal kecil dan komunitas kecil hingga berkembang ke hal-hal yang lebih besar dan lingkup yang lebih luas dan jadilah seperti yang kita saksikan dan alami seperti sekarang ini.
Hal terburuk dari politik itu sendiri adalah ketika politik tidak lagi ditujukan untuk mewujudkan kepentingan rakyat secara keseluruhan tetapi sering memanfaatkan mayoritas dengan mengesampingkan minoritas hanya demi mendapatkan kekuasaan. Politik isu Suku, Agama dan Ras (SARA) pun sering menjadi pilihan yang dianggap sangat manjur karena sifatnya yang sangat sensitif.
Seperti yang sekarang sedang terjadi. Tokoh politik atau politikus dan partai politik, dalam ketidakmampuannya tidak jarang mengangkat isu-isu agama, baik secara langsung maupun secara sembunyi-sembunyi, sementara hal tersebut bertentangan dengan konstitusi, asas atau aturan partai, dsb.
Di sisi lain banyak kita temukan politikus atau partai politik yang munafik. Tidak sesuai antara perkataan dan perbuatan. Juga sering berubah-ubah atau seperti berkepribadian ganda. Perkataan pagi dan sore bisa berubah hanya karena keinginan untuk mendapatkan kekuasaan.
Disinilah seharusnya masyarkat diharapkan agar lebih cerdas dan jeli. Tidak mudah dibodohi dan dipermainkan oleh politikus atau partai politik yang tidak konsekuen dan inkonsisten. Masyarakat harus dapat membedakan mana yang asli dan yang palsu. Mana yang fakta atau fitnah. Dan mana yang pembodohan atau pencerahan.
Waspadalah! Agama tidak boleh dipolitisasi dan ayat-ayat kitab suci tidak boleh dijadikan sebagai dagangan politik. Ayat kitab suci itu terkadang begitu mudah ditafsirkan dengan penyajian yang sangat menarik dan meyakinkan bahwa seakan-akan memang demikianlah maksud sebenarnya dari ayat tersebut padahal sebenarnya hanyalah dimanfaatkan untuk kepentingan demi mendapatkan kekuasaan.
Semoga rakyat semakin cerdas dalam bersikap dan menggunakan hak politiknya.
(RS)
Sumber:
- Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI-V)
- Wikipedia bahasa Indonesia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI