Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

4 Nama Ini Sebaiknya Jangan Dipasangkan dengan Prabowo atau Langsung Kelar

26 Juli 2018   23:27 Diperbarui: 27 Juli 2018   09:12 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilansir dari Tempo.co (25/7/2018), Fahri Hamzah mengatakan dirinya punya perasaan yang sangat kuat bahwa Joko Widodo atau Jokowi "tidak mungkin" memenangkan pemilihan presiden 2019 nanti.

Fahri mengatakan bahwa pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pada Selasa, 24 Juli 2018 malam memperkecil kemungkinan Jokowi untuk memenangkan Pilpres 2019.

Saya pikir pendapat Fahri yang didasarkan pada "perasaannya yang sangat kuat" tersebut sah-sah saja. Setiap orang boleh-boleh saja beropini, baik berupa prediksi yang dibarengi dengan analisis yang subjektif yang bertujuan untuk meyakinkan kemenangan pilihannya.

Tetapi memvonis salah satu kandidat "tidak mungkin" menang adalah sebuah bentuk kepanikan dan kekeliruan besar yang kemudian berusaha "diolah" menjadi sebuah improvisasi berbentuk propaganda untuk menghibur diri sendiri dan pendukung jagoannya.

Setiap kandidat tentu mempunyai peluang atau "kemungkinan" untuk menang. Masalah besar-kecilnya, itu kemudian bergantung pada mesin partai koalisi dan kelihaian tim sukses masing-masing dalam merebut hati rakyat pengguna hak pilih termasuk dalam menentukan cawapres.

Jika Fahri menjagokan Prabowo akan menang di Pilpres 2019 nanti, hal itu sangat wajar dan logis karena memang dari awal Fahri berada di kubu oposisi pimpinan Prabowo. Maka segala macam cara akan dilakukan Fahri untuk memenangkan Prabowo.

Masalahnya sekarang adalah jika koalisi Gerindra-Demokrat ditambah PAN dan PKS benar-benar terbentuk dan Prabowo ditetapkan menjadi capres, pertanyaannya adalah: "Siapakah nantinya yang akan menjadi pendamping Prabowo?"

Saya pikir memilih cawapres yang tepat untuk Prabowo adalah sesuatu hal yang sangat-sangat sulit bahkan lebih sulit dari membentuk koalisi itu sendiri. Lebih sulit dari mencari sebuah jarum di dalam tumpukan jerami. Juga seperti menggunting dalam lipatan. Pat gulipat, salah gunting semua lipatan robek terpisah.

Dan saya pikir jika Prabowo dan partai koalisinya harus lebih berhati-hati. Dan jika tidak ingin kelar lebih awal maka sebaiknya 4 nama ini jangan pernah dipasangkan dengan Prabowo tetapi sebaliknya lebih baik dihindari demi persaingan yang lebih seimbang. Siapakah mereka?

Yang pertama adalah Amien Rais. Sekalipun seandainya Amien Rais rela "merendahkan dirinya" turun tahta dari keinginan untuk capres menjadi cawapresnya Prabowo tetapi sebaiknya Prabowo dan koalisinya sebaiknya jangan pernah memilih Amien Rais menjadi cawapres.

Menurut analisis saya Amien Rais memiliki reputasi yang kurang baik bahkan di mata pendukung dan simpatisan PAN sendiri, apalagi dalam pandangan partai koalisi seperti Partai Demokrat dan PKS?

Ambisi Amien Rais menjadi Presiden dan catatan masa lalunya dengan Gus Dur serta statementnya yang sering "ngawur" akan menggerus elektabilitas Prabowo dan membuatnya kelar lebih awal.

Yang kedua adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Partai Demokrat yang memiliki 61 kursi di DPR-RI dan memperoleh 10,19 persen suara nasional pada Pemilu 2014 sah-sah saja meminta jatah cawapres dan menyodorkan AHY untuk mengisinya.

Tetapi dari segi usia AHY masih relatif sangat muda dan minim pengalaman dan sepertinya belum layak untuk menduduki jabatan wapres. Sekalipun secara kemiliteran dengan pangkat terakhir sebagai mayor dan dibidang akademis menunjukkan prestasi yang sangat bagus tetapi dalam kepemimpinan, baik sebagai kepala daerah, kepala dinas atau kepal perusahaan, AHY sama sekali belum teruji.

Tetapi jika SBY dan Partai Demokrat tetap berusaha memaksakannya karena kepalang basah sudah mundur dari dinas kemiliteran, maka saya pikir semuanya akan langsung kelar bahkan sebelum pertandingan dimulai.

Yang ketiga adalah Ahmad Heryawan (Aher). Jabatan terakhir yang diduduki Aher adalah sebagai Gubernur Jawa Barat 2 periode. Jika ditanyakan prestasi yang sangat menonjol selama kepemimpinannya, saya pikir tidak ada yang terlalu istimewa untuk diingat yang dapat mengimbangi prestasi Jokowi ketika menjadi Walikota Solo atau Gubernur DKI.

Memaksakan Aher sama dengan membuat segalanya kelar lebih awal. Lagi pula suara PKS yang 6,79 persen nasional dan jumlah kursi 40 akan sulit mendapatkan dukungan dari Partai Demokrat dan PAN yang memiliki lebih banyak kursi di DPR-RI dan jumlah suara yang lebih banyak.

Yang keempat adalah Salim Segaf Al Jufri. Sama dengan Aher, Al Jufri merupakan kader PKS dengan jabatan terakhir sebagai Ketua Majelis Syuro PKS.

Sekalipun Al Jufri pernah menjabat sebagai Menteri Sosial pada masa pemerintahan SBY dan menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman tetapi sepertinya tidak ada prestasi menonjol yang membuatnya diingat oleh masyarakat banyak.

Jika Al Jufri tetap dipaksakan sebagai pendamping Prabowo, yakinlah semuanya akan berakhir lebih awal. Kelar...

Lalu siapakah yang pas dan pantas untuk mendampingi Prabowo agar bisa mengalahkan Jokowi?

(RS).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun