Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Naluri Membunuh

21 Mei 2018   13:50 Diperbarui: 21 Mei 2018   14:15 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingat...! Aku tidak takut apapun dan siapapun. Aku hanya takut sama Tuhan. Itulah mengapa aku takut membunuh. Aku sangat takut masuk neraka. Juga sangat takut masuk penjara. Karena menurutku penjara itu adalah neraka. Neraka dunia. Neraka jahanam.

Di penjara kejahatan itu lebih nyata. Ketika para pembunuh berkumpul, mereka beradu. Saling memukul, saling adu jotos. Berebut menjadi kepala kamar. Menghajar siapa saja hingga semuanya tumbang untuk mendapatkan kekuasaan. Yang kalah menjadi tukang urut bahkan sekali-sekali harus rela disodomi. Hah... seperti neraka bukan?

Itulah mengapa selalu aku katakan. Setiap kali aku marah, baiknya kedua kakiku diikat saja ke kaki kursi besi. Dan kedua tanganku diborgol dengan gari. Aku tidak akan melawan. Itu demi kebaikan. Agar aku tidak bisa bergerak, memukul dan menerajang siapa saja yang bisa aku bantai.

Engkau tau sendiri kan? Dan aku sudah berkali-kali mengatakan kepadamu. Aku ini mempunyai naluri membunuh yang sangat tinggi. Aku dititiskan dari garis keturunan naluri pembunuh berdarah dingin. Dari kakek-buyutku hingga kegenerasi yang keberapa, aku tidak tahu. Mudah-mudahan berakhir di aku.

Pernah suatu kali kakekku bercerita. Untuk melampiaskan amarahnya, kakek menendang pelan saja kucing kesayangannya. Tetapi tak dinyana, kucingnya terpental kuat ke dinding dan mati. Seketika itu juga kemarahan kakekku makin memuncak. 

Antara sedih bercampur kesal, diraihnya parangnya yang tajamnya dapat membelah rambut menjadi tujuh rupa. Di dekatinya kucing kesayangannya itu, diletakkannya di atas sebilah bambu lalu dicincang tak berhenti, sampai halus. Semua bercampur. Bulu, usus dan sekalian isinya serta tengkorak kepalanya dan matanya lumat semuanya. Darahnya muncrat kemana-mana.

Aku masih ingat betul ketika itu. Setelah kakek sadar, ia mendekat kepadaku yang sedari awal memperhatikannya. Tangan kakek yang berlumuran darah meraih kedua tanganku. "Kau, takut?", Katanya parau. "Tak sedikit pun", jawabku garang. "Ya, aku tahu. Kau tak takut apapun dan kepada siapapun. Hanya kepada Gusti Allah", lanjut kakek.

Setelah itu kakek pun menasehatkanku. Diajarinya aku agar berhati-hati. Tidak mudah emosi. "Dan kalau kau marah lebih baik kedua kaki dan kedua tanganmu diikat. Sebelum amarahmu memuncak. Di darah kita mengalir naluri membunuh", katanya mengingatkan.

Dan semenjak itu, kulihat kakek rajin beribadah. Dia bergaul dengan banyak orang. Hampir semua orang menyukainya. Mulai dari yang tua, anak muda hingga anak kecil. Mereka menyukai kakek bukan karena terpaksa. Bukan pula karena takut. Tetapi karena mereka sayang kakek. 

Sampai akhir hayatnya, kakek tak pernah membunuh. Bahkan membunuh ayam atau nyamuk sekalipun. Kakek takut masuk neraka. Juga takut masuk penjara. "Penjara itu neraka dunia, neraka jahanam", kata kakek.

"Kakek tak pernah masuk penjara kecuali mengantarkan makanan untuk teman kakek yang ditahan karena membunuh", kata kakek. "Kata teman kakek, mereka itu saling menyiksa satu sama lain. Saling adu jotos merebut kekuasaan. Yang kalah jadi tukang urut. Bahkan sekali-sekali harus rela dijantani", kata kakek.

Setelah kakek tiada, aku baru sadar. Pernah tak sengaja aku menghajar teman karena sudah kelewat batas, pelan saja. Dia jatuh pingsan. Teman-temanku mengerumuniku, bukan untuk mengeroyok aku. Tetapi karena mereka mau menolong korban agar tidak mati. Agar aku tidak masuk neraka. Tidak masuk penjara jahanam.

Semua teman-temanku berkata. "Jika kamu marah, biarlah kami mengikat kedua kakimu. Memborgol kedua tanganmu. Agar kamu tidak membunuh. Agar kamu tidak masuk penjara, neraka jahanam itu. Kamu memiliki naluri membunuh yang sangat tinggi", nasihat mereka.

Semenjak itu aku mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan aku pun menjadi orang yang sangat sabar. Bahkan ketika seseorang meludahi mukaku sekalipun, aku tetap sabar. Bukan karena aku takut. Aku tidak takut apapun dan dengan siapa pun. Aku hanya takut Gusti Allah. Aku takut neraka. Takut penjara jahanam. Karena aku memiliki naluri membunuh....

(RS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun