Diego Simeone adalah pelatih jenius. Lebih jenius ketimbang 20 tahun silam ketika masih berstatus sebagai pemain yang berhasil membuat David Beckham mendapatkan kartu merah di Stade Geoffroy-Guichard (Saint Etienne), saat Argentina dan Inggris bertemu di babak perdelapan final Piala Dunia 1998.
Saat Simeone datang ke Madrid, Atletico sedang dalam kondisi terpuruk. Sebagai klub yang memiliki nama besar, posisi mereka hanya berada pada posisi ke-10 di La Liga dan baru saja tersingkir dari Copa Del Rey. Pemiliknya mengalami krisis finansial dan krisis manajerial, demikian pula dengan jajaran direksi, pemain, pelatih, dan bahkan para suporter yang kerap bertingkai.
Kehadirannya di Atletico dianggap tidak spesial, karena latar belakangnya bukan sebagai pelatih sukses. Dia lebih tepat dijuluki sebagai pelatih kutu loncat. Setelah gagal melatih Racing (2006), Simeone meloncat ke Estudiantes (2006-2007), lalu River Plate (2008), San Lorenzo (2009-2010), kemudian Catania (2011) sebelum kembali lagi ke Racing (2011-2012).Â
Mungkin lebih tepat jika dikatakan Atletico Madrid sedang dalam keadaan frustasi besar ketika merekrut Simeone. Walaupun tidak boleh dipungkiri bahwa sebagai pemain, Simeone pernah membawa Atletico meraih gelar La Liga pada musim 1995-1996. Dan secara total, Simeone telah bermain 144 kali untuk Atletico dengan mencetak 23 gol (1994-1997 dan 2003-2005).
Tetapi sebagai sosok pelatih yang otoriter, Simeone selalu menuntut para pemainnya agar selalu bekerja keras dan disiplin, mengikuti secara kaku rencana taktis yang ditata untuk tim dengan filosofi Billardisme yaitu filosofi yang lebih pragmatis cenderung bertahan, Simeones elalu memainkan pressing ketat saat bertahan dan menyerang lewat kolektivitas.
Simeone selalu menanamkan filosofi kepada anak asuhnya: "Saya selalu berpikir direksi akan memecat saya besok. Jadi saya hanya fokus pada kemenangan pada hari ini, karena ini adalah hari terakhir saya bersama klub. Saya selalu menanamkan filosfi ini kepada seluruh pemain, Mereka paham bahwa tiap pertandingan adalah final " ujarnya pada Four Four Two.
Dan hasilnya adalah, selama melatih Atletico, Simeone telah berhasil mempersembahkan 1 gelar La Liga (2013-2014), 1 gelar Copa Del Rey (2013), 2 gelar Liga Europa (2011-2012 dan 2017-2018) dan 1 gelar Piala Super Eropa (2012) dan 2 kali sebagai finalis Liga Champions (2013-2014 dan 2015-2016) walaupun kedua-duanya gagal meraih gelar.
Puncaknya adalah ketika dini hari tadi, Diego Simeone kembali membawa Atletico Madrid menjuarai Liga Europa 2017-2018, untuk ke-2 kalinya sepanjang karir kepelatihannya setelah berhasil mengalahkan Olympique Marseille pada laga final, Rabu (16/5/2018).
Bermain di Stadion Groupama dan disaksikan sekitar 55.765 penonton, Olympique Marseille melakukan perlawanan sengit dengan tingkat penguasaan bola yang lebih dominan yaitu 54 persen, dengan akurasi passing yang akurat dan kolektivitas tim yang sangat kompak.
Kendati cuma memiliki 46 persen penguasaan bola, dari tujuh peluang, mereka berhasil mencetak tiga gol berbanding 10 tembakan milik Marseille yang tidak berhasil dikonversi menjadi satu buah gol. Dan Atletico Madrid pun menang 3-0 berkat brace Antoine Griezmann (21', 49') dan satu gol Gabi (89').
Dan impian Olympique Marseille untuk mendapatkan gelar Liga Europa pertamanya pun sirnah berkat otak brilian Simeone yang berhasil terjemahkan pemainnya. Dengan prestasi gemilang ini akankah Simeone masih tetap bertahan di Atletico atau akan hengkang ke Chelsea atau Arsenal musim depan? Kita tunggu jawabannya.