(Dua sahabat, Minangkabau-Batak/dok. pribadi)
Kita sering merasa jauh lebih dekat dengan teman yang sesuku dan seagama dan cenderung mengatur jarak dengan orang yang berbeda suku dan agama dengan kita, tanpa kita sadari bahwa beberapa kali orang yang menolong kita pada masa-masa sulit justru bukan yang sesuku atau seagama.
Tadi pagi disela-sela jam istirahat, seorang sahabat karib saya yang juga satu profesi dengan saya, memanggil saya: "Pak, kesinilah...! Duduklah, pak. Disini, disamping saya", katanya sambil memberikan tempat pada sebuah kursi panjang yang disandarkan persis di depan Kantor Tata Usaha.
"Ada apa, pak?", tanyaku sambil merapat duduk disamping beliau. Beliau sudah lebih tua sekitar 10 tahun lebih dari saya. Tetapi beliau selau menunjukkan rasa hormat beliau kepada saya yang membuat saya semakinn menghormati beliau.
"Begini...", katanya. "Terkait peristiwa pengeboman Gereja kemarin di Surabaya, pelakunya itu memang beragama Islam tetapi apa yang mereka lakukan itu sama sekali bukan ajaran Islam", kata beliau menjelaskan.
"Islam adalah agama rahmatan lil 'alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan dan tumbuhan, apalagi sesama manusia? Islam tak pernah mengajarkan untuk membunuh manusia apalagi dengan cara bom bunuh diri?", lanjut beliau.
"Tindakan teror tersebut adalah tindakan biadab, tidak berperikemanusiaan dan tidak dibenarkan oleh ajaran agama,", beliau meneruskan dengan penjelasan yang lebih detail. "Sayapun paham, pak" jawabku. Dan seterusnya kamipun kemudian terlibat dalam diskusi dan dialog yang sangat indah.
Kami saling berbagi, saling bertukar pikiran tentang pemahaman agama yang kami anut sepanjang yang bisa kami jelaskan masing-masing. Dan ini bukan pertama kalinya kami lakukan. Kami sering berdiskusi dan berdialog tentang topik apa saja yang lagi hangat untuk dibicarakan.
Kami sudah cukup lama bersahabat. Saya mengenal beliau pada tahun 2009 di sebuah SMP Negeri di Kabupaten Lingga. Ketika itu beliau ditugaskan menjadi Kepala Sekolah di tempat saya mengajar.
Sementara saat itu saya masih berstatus sebagai guru honorer Komite Sekolah, sambil ikut membantu administrasi di Tata Usaha Sekolah karena saya mengerti sedikit tentang cara mengoperasikan komputer. Ketika itulah saya merasakan bagaimana beliau banyak menolong saya dan keluarga saya. Mulai dari masalah keuangan hingga kemudian saya menjadi PNS.
Awalnya saya enggan bersahabat dengan beliau. Saya suku Batak, beliau suku Minangkabau. Saya Kristen, beliau Islam. Saya guru honorer, beliau Kepala Sekolah. Ketika itu saya 32 tahun, beliau sudah 42 tahun. Terlalu jauh perbedaan itu sehingga mustahil rasanya bisa menjalin sebuah persahabatan.
Tetapi rupanya kenyataannya tidak demikian. Beliau menerima perbedaan itu apa adanya dan tak sungkan untuk mendiskusikan perbedaan itu hingga hal-hal yang sensitif. Saling berbagi, saling bertukar pikiran. Apa yang bisa dan tidak bisa. Apa yang boleh dan tidak boleh.Â
Dan akhirnya kamipun bersahabat dengan akrab. Bahkan lebih akrab dari dua orang bersaudara. Jauh lebih akrab dari teman seagama dan sesuku. Bahkan persahabatan itu tidak hanya terbatas antara kami berdua. Juga antara keluarga, antara istri dan anak-anak kami.
Ketika kami asyik bercerita dan waktu shalat tiba, saya mengingatkan beliau untuk shalat. Dan beliau pun merasa senang diingatkan demikian. Masih sangat banyak lagi cerita persahabatan kami yang tidak diceritakan disini. Intinya adalah perbedaan agama, suku, budaya, adat-istiadat, dsb, tidak menghalangi kita untuk bersahabat sepanjang kita dapat menerima perbedaan itu sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa.
(RS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H