(Sebuah memori untuk amangboru J. Nababan yang meninggal tepat pada hari pernikahan anaknya di Pekanbaru. Sementara acara pesta berlangsung, jenazah beliau disemayamkan di rumah sakit sampai acara pesta pernikahan selesai)
Sudah sebulan lebih kami bersama beberapa teman, berjalan kaki menempuh jalan berliku, berdebu, menanjak dan menurun, dari kampung ke hauma Ramba Palia. Jaraknya tidak kurang dari 5 kilometer. Dan itu kami lakukan untuk membantu orangtua kami yang bermalam di ladang di musim tanam.
Setiap pulang sekolah sekitar jam 12 siang, kami janjian pergi bersama teman-teman, menempuh jalan yang sama. Berjalan beriringan sambil bercanda hingga lupa akan penat dan kemudian tiba di ladang lalu membantu orangtua.
Besoknya pagi-pagi sekali kami sudah harus bangun dan kembali menempuh jalan yang sama, agar kami dapat mengikuti pelajaran di sekolah. Udara pagi pegunungan yang sangat dingin dan embun pagi yang membasahi semak-semak di pinggir jalan terkadang luput dari perhatian kami.
Demikian perjalanan itu kami ulang-ulang tanpa mengenal lelah. Dan bila hari ini aku membayangkan hal itu, rasanya seperti mimpi. Seakan-akan tak percaya, bagaimana kami memiliki tenaga yang begitu super, dapat melakukan perjalan tersebut tanpa pernah mengeluh sedikitpun tetapi selalu senang dan riang.
Satu dari sekian banyak peristiwa yang tidak bisa aku lupakan adalah ketika pensil aku hilang. Di suatu siang yang cukup sejuk, aku bermaksud mengerjakan PR. Biasanya setiap ada PR, aku harus mengerjakannya pada waktu siang, karena waktu malam hari pastilah gelap gulita. Jangankan listrik, lampu minyak pun sangat sulit.
Tiba-tiba aku sangat kaget dan sedih. Aku bolak-balik memeriksa plastik tempat aku memasukkan buku, berusaha menemukan pensilku yang sudah pendek karena sering diraut, tapi nampaknya usahaku sia-sia.
Pensilku hilang. Aku tidak dapat lagi mengerjakan PR. Besok aku pasti dihukum guru. Mau beli, tidak mungkin. Semua warung jauh. Mau meminjam ke teman, mereka tidak ada yang bawa.
Aku menyampaikan kesedihanku tersebut kepada mama. Sebentar mama berpikir ikut sedih. Tapi tiba-tiba mama menunjukkan wajah gembira. "Coba tanyakan amangborumu Sihombing, aku dengar tadi dia mau ke Parsosoran 'manggiling eme'", kata mama bersemangat. Cepat-cepat aku berlari menuju pondok amangboru Sihombing yang jauhnya kira-kira 50 meter dari pondok kami.
Sesampainya disana, aku melihat amangboru sedang menggotong satu karung beras di bahunya. "Ada apa tulang?", katanya dengan riang seakan-akan tak merasakan beban berat di pundaknya. "Begini amangboru, tadi dalam perjalanan sepulang sekolah menuju ke hauma ini, pensil aku jatuh. Padahal aku mau mengerjkan PR. Aku mau nitip beli pensil sama amangboru tetapi uangkupun tidak ada", sahutku. "Hahaha... bereslah itu tulang, nanti aku belikan di sana, tunggu saja disini ya!" jawabnya pasti.
Sekitar lebih-kurang 2 jam, aku menunggu dengan harap-harap cemas, apakah amangboru ingat membeli pensilku atau mungkin dia lupa karena jauhnya jalan setapak dari Ramba Palia ke Parsosoran.
Beberapa saat kemudian, sayup-sayup dari pondok aku mendengar seperti suara amangboru. Cepat-cepat aku bergegas memastikan apakah amangboru sudah tiba dari perjalanan jauhnya. Ternyata benar, amangboru sudah tiba. Tapi apakah amangboru ingat membeli pensilku? Aku kwatir.
Melihat aku datang, amangboru menyambut aku dengan tertawa; "Ini tulang pesananmu", katanya dengan riang. "Belum diraut, raut saja nanti dengan pisau", tambahnya. Seakan tak percaya aku mengambilnnya dan setelah mengucapkan terimakasih, aku kembali ke pondok kami memberitahukan hal tersebut kepada mama. "Ya sudah, sekarang kerajakan PR mu, mumpung masih terang. Ingat setiap masalah ada jalan keluarnya", kata mama.
Itulah sepenggal kisah yang tak terlupakan dengan amangboru J. Nababan. Dan kisah itu sama sekali tidak mungkin bisa terulang kembali. Sama sekali tidak. Itulah yang terakhir untuk selamanya.
Sekarang amangboru J. Sihombing Nababan telah tiada. Terakhir kami ketemu tahun 2011 ketika kami pulang ke kampung halaman. Kami sempat bercerita panjang lebar tentang pahit-manisnya kehidupan.Â
Ketika kami akan pulang ke Tanjungpinang, beliau masih di aek godang. Tapi rupanya dia mengejar kami sampai ke Banjar untuk menyalam kami, aku, istriku dan anak-anakku.Â
Rupanya itulah pertemuan kami yang terakhir setelah beberapa tahun kemudian kami mendengar beliau telah pergi menghadap Bapa di Surga untuk selamanya di Pekanbaru dan dikebumikan di Siborong-borong.
Selamat jalan amangboru boru, aku tidak pernah melupakanmu. Tidak hanya karena kisah sebuah pensil, lebih banyak lagi hal-hal yang tidak terlupakan. Terlebih setelah kita bertetangga. Sebenarnya banyak hal yang harus kita bicarakan. Tetapi Tuhan lebih menyayangimu.
Sekalipun cita-citaku menjadi seorang Jenderal tidak tercapai, tapi saya sekarang sudah menjadi seorang guru. Sebuah cita-cita yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Aku menyebutnya "garis tangan"
Semoga rencana kami pangaratto martaon baru di kampung dapat terwujud, dan kasatuan hati kami kelak akan dapat "melahirkan" banyak jenderal yang akan membangun kampung kita ini dari keterpurukan.
Sampai jumpa di kekekalan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI