Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah dalam Sebatang Pensil

16 Februari 2018   12:16 Diperbarui: 16 Februari 2018   12:29 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Tribunnews.com

(Sebuah memori untuk amangboru J. Nababan yang meninggal tepat pada hari pernikahan anaknya di Pekanbaru. Sementara acara pesta berlangsung, jenazah beliau disemayamkan di rumah sakit sampai acara pesta pernikahan selesai)

Sudah sebulan lebih kami bersama beberapa teman, berjalan kaki menempuh jalan berliku, berdebu, menanjak dan menurun, dari kampung ke hauma Ramba Palia. Jaraknya tidak kurang dari 5 kilometer. Dan itu kami lakukan untuk membantu orangtua kami yang bermalam di ladang di musim tanam.

Setiap pulang sekolah sekitar jam 12 siang, kami janjian pergi bersama teman-teman, menempuh jalan yang sama. Berjalan beriringan sambil bercanda hingga lupa akan penat dan kemudian tiba di ladang lalu membantu orangtua.

Besoknya pagi-pagi sekali kami sudah harus bangun dan kembali menempuh jalan yang sama, agar kami dapat mengikuti pelajaran di sekolah. Udara pagi pegunungan yang sangat dingin dan embun pagi yang membasahi semak-semak di pinggir jalan terkadang luput dari perhatian kami.

Demikian perjalanan itu kami ulang-ulang tanpa mengenal lelah. Dan bila hari ini aku membayangkan hal itu, rasanya seperti mimpi. Seakan-akan tak percaya, bagaimana kami memiliki tenaga yang begitu super, dapat melakukan perjalan tersebut tanpa pernah mengeluh sedikitpun tetapi selalu senang dan riang.

Satu dari sekian banyak peristiwa yang tidak bisa aku lupakan adalah ketika pensil aku hilang. Di suatu siang yang cukup sejuk, aku bermaksud mengerjakan PR. Biasanya setiap ada PR, aku harus mengerjakannya pada waktu siang, karena waktu malam hari pastilah gelap gulita. Jangankan listrik, lampu minyak pun sangat sulit.

Tiba-tiba aku sangat kaget dan sedih. Aku bolak-balik memeriksa plastik tempat aku memasukkan buku, berusaha menemukan pensilku yang sudah pendek karena sering diraut, tapi nampaknya usahaku sia-sia.

Pensilku hilang. Aku tidak dapat lagi mengerjakan PR. Besok aku pasti dihukum guru. Mau beli, tidak mungkin. Semua warung jauh. Mau meminjam ke teman, mereka tidak ada yang bawa.

Aku menyampaikan kesedihanku tersebut kepada mama. Sebentar mama berpikir ikut sedih. Tapi tiba-tiba mama menunjukkan wajah gembira. "Coba tanyakan amangborumu Sihombing, aku dengar tadi dia mau ke Parsosoran 'manggiling eme'", kata mama bersemangat. Cepat-cepat aku berlari menuju pondok amangboru Sihombing yang jauhnya kira-kira 50 meter dari pondok kami.

Sesampainya disana, aku melihat amangboru sedang menggotong satu karung beras di bahunya. "Ada apa tulang?", katanya dengan riang seakan-akan tak merasakan beban berat di pundaknya. "Begini amangboru, tadi dalam perjalanan sepulang sekolah menuju ke hauma ini, pensil aku jatuh. Padahal aku mau mengerjkan PR. Aku mau nitip beli pensil sama amangboru tetapi uangkupun tidak ada", sahutku. "Hahaha... bereslah itu tulang, nanti aku belikan di sana, tunggu saja disini ya!" jawabnya pasti.

Sekitar lebih-kurang 2 jam, aku menunggu dengan harap-harap cemas, apakah amangboru ingat membeli pensilku atau mungkin dia lupa karena jauhnya jalan setapak dari Ramba Palia ke Parsosoran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun