Media massa yang dicekal karena terlalu berani membongkar aib penguasa kembali mendapatkan izin terbitnya. Media-media baru yang "menjelek-jelekkan" rezim orde baru pun bermunculan dan laku keras.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi" yang dianggap telah merampas kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum, disahkan pada tanggal 19 Mei 1999 oleh Presiden B.J. Habibie.
Partai-partai baru bermunculan bag jamur di musim hujan. Yang tadinya hanya 3 partai berubah menjadi ratusan partai walaupun kemudian yang lolos pada pemilihan pertama pasca reformasi hanya 48 kontestan.
Inilah awal kebangkitan sekaligus "kerusakan demokrasi". Ketika banyak orang memaknai demokrasi itu sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batasan yang jelas. Banyak yang berbuat sesukanya atas nama demokrasi ala reformasi.Â
Aturan-aturan yang baik seperti aturan lalu lintas dilanggar. Alasannya sederhana, "Inikan negara demokrasi?" Kebebasan bersuara kebablasan. Sopan santun dan etika dalam mengeluarkan pendapat pun diabaikan atas nama reformasi. Dan hal tersebut bukan lagi menjadi sebuah pemandangan yang asing bahkan sudah menjadi budaya demokrasi ala reformasi.
Benarkah hal yang seperti itu definisi kebebasan dalam negara demokrasi yang sesungguhnya?
Tentu saja tidak. Dari 8 ciri-ciri negara demokrasi, 5 diantaranya berbicara mengenai kebebasan.
Yang pertama adalah adanya kebebasan individu. Setiap warga negara diberi hak dan kewajiban yang sama antara yang satu dengan yang lainnya termasuk dalam menyuarakan pendapat terhadap pemerintah maupun di muka umum.
Yang kedua adalah adanya jaminan terhadap perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM), yaitu hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, dsb.
Yang ketiga adalah adanya kebebasan  pers, yaitu media masa mempunyai hak untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat sesuai dengan undang-undang pers. Tidak menyebarkan berita bohong dan fitnah dan harus dapat dipertanggungjawabkan secara jurnalistik.
Yang keempat adalah adanya kebebasan berkoloni dan berorganisasi. Masyarakat memiliki hak untuk mendirikan ataupun mengikuti organisasi. Tentu saja organisasi yang sesuai dan berdasarkan Pancasila.