Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Pasal Zina dalam RKUHP Menuai Polemik di Masyarakat?

7 Februari 2018   01:04 Diperbarui: 8 Februari 2018   09:01 2530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : aktual.com

Ke-2

  1. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
  2. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 KUH Perdata berlaku baginya.
  • Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 KUHPerdata, dalam tenggang waktu 3 bulan diikuti dengan permintaan bercerai, atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga.
  • Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73 dan 75 KUHP.
  • Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
  • Jika bagi suami/istri berlaku Pasal 27 KUH Perdata, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Dan masih dalam laman tersebut juga dicantumkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2015 (RKUHP 2015) yang sedang dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan masih menyisakan banyak permasalahan.

Menurut catatan tirto.id, tanggal 26/01/2018 dengan judul: "Revisi KUHP Soal Zina Bikin Hukum Seperti Abad Kegelapan Eropa" menjelaskan bahwa revisi ini didengungkan untuk mewujudkan nilai humanis lantaran KUHP yang ada sekarang merupakan warisan kolonial. Menurut pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Anugerah Rizki Akbari rencana perluasan delik zina dan pencabulan homoseksual dalam revisi ini malah menjauhkan pemerintah dan DPR dari cita-cita tersebut.

Ia menjelaskan, negara sekadar ingin tampil sebagai sosok yang kuat tetapi tidak benar-benar merespons isu kriminalitas dengan membuat bermacam regulasi tambahan yang bersifat represif.

Manakah pasal dan ayat yang mengalami perluasan pasal zina dalam RKUHP tersebut dan apa isinya?

Menurut detikNews.com, Senin 05 Februari 2018, 18:26 WIB dengan judul "Pidana Zina akan Diatur KUHP, Pasal LGBT Di-pending" memuat:

Pasal pertama adalah Pasal 484 dalam draf KUHP yang berbunyi:

Pasal 484
1. Dipidana karena zina, dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun:
a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan suaminya;
c. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
e. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya.
3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan pasal 26, pasal 27, dan pasal 31.

4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Selain Pasal 484, rapat sepakat dengan Pasal 488. Namun ada tambahan frasa 'wali, suami, atau istri dan anak' pada akhir alinea ayat 2. Pasal 488 berbunyi:


Pasal 488

1. Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan orang tua kandung atau wali, suami, atau istri dan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun